Kejati Kalteng ingatkan pejabat KUA jangan tergiur gratifikasi
Palangka Raya (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Tengah, mengingatkan seluruh pejabat pengemban amanah di lingkungan Kantor Urusan Agama (KUA) berkewajiban untuk terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat baik peningkatan program pelayanan maupun peningkatan kapasitas personal dan lembaga KUA itu sendiri.
"Jangan sampai pekerjaan mulia melayani umat tercederai karena berharap sedikit keuntungan materi atau gratifikasi yang dibalut dengan ucapan terima kasih dan lainnya," kata Koordinator Kejati Kalteng Erianto N mewakili Kajati Kalteng Pathor Rahman dalam siaran persnya yang diterima di Palangka Raya, Senin.
Hal tersebut disampaikannya selaku pemateri dalam kegiatan Focus Grup Discussion Revitalisasi KUA yang dilaksanakan Kanwil Kemenag Kalteng dengan topik Layanan Prima Tanpa Gratifikasi di salah satu hotel di Banjarmasin, Sabtu (26/11).
Menurut Erianto, KUA merupakan ujung tombak Kementerian Agama dalam melayani masyarakat khususnya urusan nikah, rujuk, memberikan berbagai bimbingan terkait ajaran Islam, keluarga sakinah, ta’mir mesjid, hisab dan ru’yah, zakat, wakaf serta tugas lainnya kepada umat Islam.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016 yang diubah dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 22 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Dia menjelaskan dalam layanan publik ada beberapa asas yang mesti menjadi perhatian antara lain keterbukaan, kepastian hukum, ketepatan waktu, kesamaan hak, profesional, akuntabilitas serta mengutamakan kepentingan umum sebagaimana diwajibkan dalam Undang undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Asas-asas itu bertujuan agar masyarakat terlayani dengan baik tanpa ada keraguan apalagi kekecewaan dalam berurusan di kantor KUA. Jangan sampai masyarakat yang datang dari pelosok desa dan kampung kecewa bahkan dipersulit oleh oknum tidak bertanggung jawab memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat.
"Penyimpangan yang terjadi bukan saja akan jadi masalah dari segi hukum, tetapi bertentangan juga dengan nilai agama yang justru mencoreng citra lembaga agama dan mencederai amanah yang diberikan negara dan masyarakat," ujar pria yang hampir delapan tahun di Kejagung bertugas menangani berbagai bentuk perkara korupsi.
Baca juga: Kalteng targetkan realisasi akses air minum layak capai 100 persen
Dikatakan dia, meskipun sulit untuk mewujudkan pelayanan prima baik dari segi tempat, personel maupun proses pelayanan namun hal itu sudah jadi kewajiban untuk melayani umat dengan penuh keikhlasan dan menjadikan semua amal ibadah.
Dia mengumpamakannya seperti pelayanan prima pada rumah makan Padang. Setiap tamu langsung disapa dan disuguhi air putih sebagai hidangan pembuka tanpa diminta. Kemudian dalam waktu yang singkat dihidangkan seluruh menu.
Dengan demikian tamu bisa memilih sesuai selera dan di akhir menjelang pelanggan pergi tertulis bacaan “jika puas beritahu yang lain jika tidak puas beritahu kami” sebagai wujud keterbukaan menerima masukan.
"Begitulah, melayani masyarakat itu ibarat berdagang bagaimana berupaya agar pelanggan puas dan bisa segera kembali dengan memberitahu teman-temannya," jelas perantau dari Kota Padang ini.
Dia menyampaikan pada sesi tanya jawab, banyak peserta yang mempertanyakan terkait perbuatan korupsi khususnya masalah gratifikasi yang sulit dihindari. Terlebih sudah membudaya untuk saling memberi seperti setelah akad nikah penghulu diberi bingkisan dan lainnya.
Menjawab pertanyaan itu, dia menyampaikan gratifikasi bukan masalah budaya atau kebiasaan. Setiap penyelenggara negara dilarang menerima suap, memeras, menggelapkan termasuk menerima gratifikasi yang harus dilihat dari segi hukum yang berlaku. Agar pemberian yang diterima tidak disebut gratifikasi maka sesuai Pasal 12C Undang-undang Tipikor, penerima wajib melaporkan ke KPK.
Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019 memberi pengecualian penerimaan gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan diantaranya pemberian dalam lingkup keluarga, perlengkapan kedinasan, hadiah berlaku umum tidak terikat kedinasan, kompensasi kegiatan kedinasan, pemberian pernikahan dan sejenis tidak lebih satu juta rupiah, pemberian pisah sambut rekan kerja maksimal tiga ratus ribu dengan maksimal satu juta dalam setahun dari orang yang sama.
"Dibutuhkan tekad kuat untuk hidup terbebas dari korupsi khususnya gratifikasi, karena kalau kita beralasan orang ikhlas memberi tentu tidak masuk akal dan dalam agama kita dianjurkan memberi seperti kepada kaum dhuafa dan anak yatim yang dikenal dengan Asnaf Delapan bukan kepada pejabat atau pegawai seperti kita," demikian Erianto N.
Baca juga: Pasar penyeimbang bantuan Pemprov Kalteng sasar kawasan padat penduduk di Kotim
Baca juga: Pemerintah pacu ekstensifikasi lahan di kawasan Food Estate Kalteng
Baca juga: Berikut hasil penganugerahan Keterbukaan Informasi Publik Kalteng 2022
"Jangan sampai pekerjaan mulia melayani umat tercederai karena berharap sedikit keuntungan materi atau gratifikasi yang dibalut dengan ucapan terima kasih dan lainnya," kata Koordinator Kejati Kalteng Erianto N mewakili Kajati Kalteng Pathor Rahman dalam siaran persnya yang diterima di Palangka Raya, Senin.
Hal tersebut disampaikannya selaku pemateri dalam kegiatan Focus Grup Discussion Revitalisasi KUA yang dilaksanakan Kanwil Kemenag Kalteng dengan topik Layanan Prima Tanpa Gratifikasi di salah satu hotel di Banjarmasin, Sabtu (26/11).
Menurut Erianto, KUA merupakan ujung tombak Kementerian Agama dalam melayani masyarakat khususnya urusan nikah, rujuk, memberikan berbagai bimbingan terkait ajaran Islam, keluarga sakinah, ta’mir mesjid, hisab dan ru’yah, zakat, wakaf serta tugas lainnya kepada umat Islam.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016 yang diubah dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 22 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Dia menjelaskan dalam layanan publik ada beberapa asas yang mesti menjadi perhatian antara lain keterbukaan, kepastian hukum, ketepatan waktu, kesamaan hak, profesional, akuntabilitas serta mengutamakan kepentingan umum sebagaimana diwajibkan dalam Undang undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Asas-asas itu bertujuan agar masyarakat terlayani dengan baik tanpa ada keraguan apalagi kekecewaan dalam berurusan di kantor KUA. Jangan sampai masyarakat yang datang dari pelosok desa dan kampung kecewa bahkan dipersulit oleh oknum tidak bertanggung jawab memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat.
"Penyimpangan yang terjadi bukan saja akan jadi masalah dari segi hukum, tetapi bertentangan juga dengan nilai agama yang justru mencoreng citra lembaga agama dan mencederai amanah yang diberikan negara dan masyarakat," ujar pria yang hampir delapan tahun di Kejagung bertugas menangani berbagai bentuk perkara korupsi.
Baca juga: Kalteng targetkan realisasi akses air minum layak capai 100 persen
Dikatakan dia, meskipun sulit untuk mewujudkan pelayanan prima baik dari segi tempat, personel maupun proses pelayanan namun hal itu sudah jadi kewajiban untuk melayani umat dengan penuh keikhlasan dan menjadikan semua amal ibadah.
Dia mengumpamakannya seperti pelayanan prima pada rumah makan Padang. Setiap tamu langsung disapa dan disuguhi air putih sebagai hidangan pembuka tanpa diminta. Kemudian dalam waktu yang singkat dihidangkan seluruh menu.
Dengan demikian tamu bisa memilih sesuai selera dan di akhir menjelang pelanggan pergi tertulis bacaan “jika puas beritahu yang lain jika tidak puas beritahu kami” sebagai wujud keterbukaan menerima masukan.
"Begitulah, melayani masyarakat itu ibarat berdagang bagaimana berupaya agar pelanggan puas dan bisa segera kembali dengan memberitahu teman-temannya," jelas perantau dari Kota Padang ini.
Dia menyampaikan pada sesi tanya jawab, banyak peserta yang mempertanyakan terkait perbuatan korupsi khususnya masalah gratifikasi yang sulit dihindari. Terlebih sudah membudaya untuk saling memberi seperti setelah akad nikah penghulu diberi bingkisan dan lainnya.
Menjawab pertanyaan itu, dia menyampaikan gratifikasi bukan masalah budaya atau kebiasaan. Setiap penyelenggara negara dilarang menerima suap, memeras, menggelapkan termasuk menerima gratifikasi yang harus dilihat dari segi hukum yang berlaku. Agar pemberian yang diterima tidak disebut gratifikasi maka sesuai Pasal 12C Undang-undang Tipikor, penerima wajib melaporkan ke KPK.
Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019 memberi pengecualian penerimaan gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan diantaranya pemberian dalam lingkup keluarga, perlengkapan kedinasan, hadiah berlaku umum tidak terikat kedinasan, kompensasi kegiatan kedinasan, pemberian pernikahan dan sejenis tidak lebih satu juta rupiah, pemberian pisah sambut rekan kerja maksimal tiga ratus ribu dengan maksimal satu juta dalam setahun dari orang yang sama.
"Dibutuhkan tekad kuat untuk hidup terbebas dari korupsi khususnya gratifikasi, karena kalau kita beralasan orang ikhlas memberi tentu tidak masuk akal dan dalam agama kita dianjurkan memberi seperti kepada kaum dhuafa dan anak yatim yang dikenal dengan Asnaf Delapan bukan kepada pejabat atau pegawai seperti kita," demikian Erianto N.
Baca juga: Pasar penyeimbang bantuan Pemprov Kalteng sasar kawasan padat penduduk di Kotim
Baca juga: Pemerintah pacu ekstensifikasi lahan di kawasan Food Estate Kalteng
Baca juga: Berikut hasil penganugerahan Keterbukaan Informasi Publik Kalteng 2022