Untuk mencapai "FOLU Net Sink 2030", RI butuh p204 triliun

id FOLU Net Sink 2030,Untuk mencapai

Untuk mencapai "FOLU Net Sink 2030", RI butuh p204 triliun

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto. ANTARA/HO-KLHK/pri. (ANTARA/HO-KLHK)

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia telah menetapkan penurunan emisi sektor hutan dan penggunaan lahan serta peningkatan serapan karbon atau Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink pada tahun 2030.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agus Justianto, mengatakan sasaran implementasi kebijakan tersebut adalah tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar minus 140 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

"Dalam aksi mitigasi Indonesia's FOLU Net Sink 2030 tentunya memerlukan pendanaan. Kami telah memproyeksikan kebutuhan pendanaan sampai tahun 2030 adalah Rp204 triliun dengan alokasi melalui berbagai sumber pendanaan," ujarnya dalam sosialisasi sub nasional Indonesia's FOLU Net Sink 2030 Provinsi Papua Barat yang dipantau di Jakarta, Rabu.

Agus menjelaskan sumber pendanaan yang memungkinkan untuk mendukung aksi mitigasi iklim Indonesia's FOLU Net Sink 2030, yakni pasar karbon dalam negeri maupun luar negeri, APBN, APBD, investasi swasta, hibah dalam negeri maupun luar negeri, dan sumber pendanaan lainnya.

Selain itu, ada pendanaan dari skema result based payment untuk REDD+ yang sekarang sudah terjadi kompensasi yang diberikan melalui skema-skema kerja sama internasional maupun sub nasional.

"Sumber pendanaan dari swasta diarahkan pada instrumen hibah, obligasi hijau, pinjaman, ekuitas swasta maupun program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR," kata Agus.

Kebijakan penurunan emisi karbon FOLU Net Sink 2030 menggunakan empat strategi utama, yakni menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta peningkatan serapan karbon.

Lebih lanjut Agus menyampaikan permasalahan perubahan iklim saat ini mengancam kehidupan manusia karena emisi gas rumah kaca terus terjadi dan berlanjut dari berbagai sumber, yaitu industri, kebakaran hutan, transportasi, bahan bakar fosil, dan sebagainya.

Peristiwa itu lantas menyebabkan kenaikan suhu; anomali iklim; peningkatan tinggi permukaan air laut; bencana alam; daratan menghilang; kelangkaan air, energi sampai pangan. Berbagai masalah itu terjadi tidak hanya di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga tingkat global.

"Indonesia tentunya perlu fondasi yang kuat khususnya dalam upaya perlindungan lingkungan dan iklim. Ini membutuhkan dukungan dan juga kontribusi dari semua pihak lintas generasi, lintas disiplin, maupun lintas sektor," kata Agus.

"Harapannya secara kolektif kita bisa memberikan kontribusi termasuk Inovasi dan solusi di seluruh bidang kehutanan," imbuhnya.