Pengurangan vonis eks Menteri KKP Edhy Prabowo jadi preseden buruk MA
Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Borobudur Profesor Faisal Santiago mengatakan pengurangan masa hukuman eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Mahkamah Agung dari sembilan tahun menjadi lima tahun jadi preseden buruk bagi badan peradilan itu.
"Saat ini saja MA sedang babak belur sebenarnya karena ada dua hakimnya dan hakim yustisial yang disangkakan terlibat dugaan korupsi. Itu sudah jadi preseden buruk," kata Faisal Santiago di Jakarta, Rabu.
Atas dasar itu, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur tersebut mendorong Mahkamah Agung yang dikomandoi M. Syarifuddin segera berbenah, terutama dalam hal pengawasan para hakim agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari.
"Kembalikan hukum itu sebagai panglima tertinggi di Indonesia," kata dia.
Melihat kondisi atau masalah yang sedang terjadi di internal MA, Faisal menyarankan MA meningkatkan pengawasan hakim yang diperkuat oleh keberadaan pengawas internal, inspektorat hingga pelibatan Komisi Yudisial (KY) khususnya terkait perilaku dan kode etik hakim.
Pada dasarnya, sambung dia, seorang hakim harus memiliki hati nurani untuk memutuskan suatu perkara tanpa adanya tekanan dari mana pun.
Ia menambahkan terkait pengurangan hukuman eks Menteri KKP Edhy Prabowo oleh hakim agung salah satunya Gazalba Saleh yang saat ini sedang terjerat dugaan kasus korupsi, KY dinilai mempunyai kewenangan mengusut sepanjang hal itu berkaitan dengan perilaku hakim karena mengawasi kinerja, perilaku, dan kode etik seorang pengadil (hakim) merupakan kewenangan yang diberikan negara kepada KY melalui undang-undang.
Untuk diketahui, putusan kasasi perkara yang melibatkan eks Menteri KKP diketuai Sofyan Sitompul dengan anggota masing-masing Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih serta Panitera Pengganti Agustina Dyah Prasetyaningsih.
Dalam putusannya, MA menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan pidana penjara lima tahun dan pidana denda sebesar Rp400 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka diganti pidana kurungan selama enam bulan.
Kedua, menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama dua tahun terhitung sejak terdakwa menyelesaikan/menjalani pidana pokok.
"Saat ini saja MA sedang babak belur sebenarnya karena ada dua hakimnya dan hakim yustisial yang disangkakan terlibat dugaan korupsi. Itu sudah jadi preseden buruk," kata Faisal Santiago di Jakarta, Rabu.
Atas dasar itu, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur tersebut mendorong Mahkamah Agung yang dikomandoi M. Syarifuddin segera berbenah, terutama dalam hal pengawasan para hakim agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari.
"Kembalikan hukum itu sebagai panglima tertinggi di Indonesia," kata dia.
Melihat kondisi atau masalah yang sedang terjadi di internal MA, Faisal menyarankan MA meningkatkan pengawasan hakim yang diperkuat oleh keberadaan pengawas internal, inspektorat hingga pelibatan Komisi Yudisial (KY) khususnya terkait perilaku dan kode etik hakim.
Pada dasarnya, sambung dia, seorang hakim harus memiliki hati nurani untuk memutuskan suatu perkara tanpa adanya tekanan dari mana pun.
Ia menambahkan terkait pengurangan hukuman eks Menteri KKP Edhy Prabowo oleh hakim agung salah satunya Gazalba Saleh yang saat ini sedang terjerat dugaan kasus korupsi, KY dinilai mempunyai kewenangan mengusut sepanjang hal itu berkaitan dengan perilaku hakim karena mengawasi kinerja, perilaku, dan kode etik seorang pengadil (hakim) merupakan kewenangan yang diberikan negara kepada KY melalui undang-undang.
Untuk diketahui, putusan kasasi perkara yang melibatkan eks Menteri KKP diketuai Sofyan Sitompul dengan anggota masing-masing Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih serta Panitera Pengganti Agustina Dyah Prasetyaningsih.
Dalam putusannya, MA menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan pidana penjara lima tahun dan pidana denda sebesar Rp400 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka diganti pidana kurungan selama enam bulan.
Kedua, menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama dua tahun terhitung sejak terdakwa menyelesaikan/menjalani pidana pokok.