Bisnis karaoke di Jakarta tak patuh bayar royalti musik

id Bisnis karaoke ,royalti musik,jakarta,Kalteng, Bisnis karaoke di Jakarta tak patuh bayar royalti musik, Anggoro Dasananto

Bisnis karaoke di Jakarta tak patuh bayar royalti musik

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkumham Anggoro Dasananto. (ANTARA/HO/DJKI Kemenkumham)

Jakarta (ANTARA) - Usaha bisnis karaoke terutama yang berlokasi di wilayah DKI Jakarta menjadi salah satu sektor layanan publik dengan tingkat kepatuhan paling rendah terkait kewajiban untuk membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait penggunaan atau pemanfaatan lagu dan/musik dalam ranah komersial. 

"Kota yang tingkat kepatuhan bayar royaltinya kurang itu bisnis karaoke, terutama di DKI Jakarta yang paling pekat hitam tidak mau membayar. Bisnis karaoke yang ada di luar DKI Jakarta ternyata malah lebih taat (membayar)," ungkap Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM Anggoro Dasananto di Jakarta, Kamis (6/4).

Anggoro mengatakan bahwa pihaknya mesti menyampaikan fakta tersebut karena ia menginginkan setiap pemangku kepentingan ikut bersama-sama dengan Pemerintah untuk aktif dalam diseminasi informasi dan sosialisasi tata kelola royalti lagu dan/ musik.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik pada tanggal 30 Maret 2021 yang merupakan amanat Pasal 35 ayat (3) dari UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Pasal 3 ayat 2 aturan tersebut menjelaskan sebanyak 14 sektor usaha maupun kegiatan wajib membayar royalti musik saat beroperasi komersial di antaranya restoran, konser musik, transportasi, bioskop, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran, hotel, dan usaha karaoke.

Pihak DJKI, lanjut Anggoro, telah melakukan sosialisasi ke 25 kota di Indonesia seperti DKI Jakarta, Makassar, Palembang, Padang, Surabaya, dan Bali. Di setiap sosialisasi, DJKI juga selalu menekankan peraturan yang membahas sanksi pengabaian pembayaran royalti, bahkan dengan menggandeng pihak Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Pihak-pihak yang kami undang ya datang saat sosialisasi. Bahkan dalam momentum seperti itu, KPK jelas-jelas menyatakan ada sanksi pidana bagi pengguna yang abai. Tetapi ya kembali lagi, mereka banyak ngeles-nya (berkilah)," ungkap Anggoro.

Mencermati hal tersebut, ia meyakini dan merasa optimistis bahwa tata pengelolaan royalti lagu dan/musik akan menjadi lebih baik apabila ada keterlibatan aktif dan kolaborasi semua pihak yang memang berniat untuk membantu diseminasi informasi dan sosialisasi.

"Saya berharap sekaligus 'menantang' sosok-sosok seniman seperti Ahmad Dhani atau Rossa misalnya, untuk bersedia membantu memberikan pemahaman royalti ke masyarakat," kata Anggoro.

Lebih lanjut Anggoro menjelaskan bahwa selama ini juga terdapat alokasi anggaran sekitar Rp700 juta untuk sosialisasi dan penyebaran informasi seluas-luasnya perihal pengelolaan royalti lagu dan/ musik.

Dalam pelaksanaannya, DJKI berkolaborasi dengan Lembaga Manajemen Kolektif untuk mencari tahu wilayah mana saja yang tergolong pekat atau cenderung tidak mematuhi kewajiban untuk membayarkan royalti.

Di lain sisi, Anggoro juga mengatakan bahwa Pemerintah bersama para pakar berencana merancang untuk melakukan revisi terhadap Undang-undang Hak Cipta dan berharap momentum tersebut bisa dimanfaatkan para pemangku kepentingan untuk memberikan rekomendasi terkait tata kelola royalti.

"Ini kesempatan agar apa yang menjadi marwah dari Undang-undang Hak Cipta benar-benar dapat melindungi semua pihak di segala lini," katanya.