Jakarta (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan fase kedaruratan COVID-19 untuk seluruh negara di dunia resmi berakhir pada 5 Mei 2023 sejak digulirkan per 30 Januari 2020.
Keputusan itu diambil Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyasus usai menerima masukan dari Emergency Committee International Health Regulation pada pertemuan ke-15 secara virtual di Jenewa, Swiss.Pertemuan itu digelar beriringan dengan situasi pandemi global yang cenderung menurun selama lebih dari setahun terakhir, kekebalan populasi meningkat dari vaksinasi dan infeksi alami, hingga penurunan angka kematian.
Kematian akibat COVID-19 secara global turun sebesar 30 persen pada periode 3 hingga 20 April 2023, jika dibandingkan empat pekan sebelumnya.
Dalam kurun waktu tersebut, sekitar 2,77 juta lebih orang di seluruh dunia terinfeksi COVID-19 dan 17.459 orang di antaranya dilaporkan meninggal.
Emergency Committee atau Komite Kedaruratan diisi para pakar dari berbagai disiplin ilmu kesehatan yang dibentuk WHO untuk menganalisa dan memberi masukan perihal mitigasi yang tepat saat muncul penyakit menular yang berpotensi menyebar secara internasional.
Komite yang dipimpin Profesor Didier Houssin selama tiga tahun terakhir itu beranggotakan para pakar kesehatan dari berbagai belahan dunia yang bukan staf WHO, salah satunya pakar ilmu kesehatan sekaligus Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama, yang saat itu menangani isu seputar penyakit MERS CoV.
Tjandra menyebut berbagai analisa situasi pandemi COVID-19 dikemukakan dalam pertemuan secara berkala itu. Salah satunya yang berlangsung pada 30 Januari 2023, saat sebagian besar anggota belum menyetujui pencabutan status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) COVID-19.
PHEIC atau Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia adalah pengumuman resmi WHO tentang kejadian luar biasa yang berisiko mengancam kesehatan masyarakat. Tujuannya, agar setiap negara dapat merespons lebih dini risiko yang terjadi saat penyakit tersebut melanda.
Tjandra menyampaikan berbagai pertimbangan dari anggota komite terkait situasi pandemi saat itu, di antaranya angka kematian akibat SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang masih tinggi di sejumlah belahan dunia.
Sepanjang pandemi, Amerika Serikat mencatat jumlah kematian terbanyak mencapai 392.480 kematian, disusul Korea Selatan 330.509 kematian, Jepang 251.158 kematian, India 222.784 kematian dan Prancis 197.190 kematian.
Laporan terbaru pada 3-20 April 2023, Amerika Serikat juga menyumbang jumlah kematian COVID-19 mencapai 5.263 kasus, disusul Brazil 1.255 kematian, Rusia 993 kematian, Prancis 871 kematian, dan Iran 762 kematian.
Sejak awal pandemi, WHO telah mencatat 765.222.932 kasus dan 6.921.614 kematian akibat COVID-19 di seluruh dunia.
Kesenjangan vaksinasi COVID-19 antara negara maju dan berkembang juga menjadi sorotan situasi saat itu, ditambah lagi dengan adanya kelompok antivaksin yang terus menyebarkan berita bohong kepada masyarakat.
Komite Kedaruratan IHR juga menyorot tentang kemunculan varian baru seperti Kraken dan Arcturus yang terbukti memicu lonjakan kasus di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Hal yang juga penting menurut Tjandra adalah komitmen dan kesiapan negara dalam meningkatkan kewaspadaan jangka panjang terhadap risiko pandemi di masa depan.
Pandemi belum berakhir
Memang benar bahwa WHO telah memutuskan untuk mengakhiri fase kedaruratan COVID-19 secara global. Tapi, bukan berarti COVID-19 berakhir sebagai ancaman kesehatan global.
Situasi itu sama halnya dengan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sampai sekarang masih berstatus pandemi setelah menyebabkan jutaan kematian pada penderitanya.
Penyakit HIV sampai kini masih menyandang status pandemi, tapi tidak lagi berstatus kedaruratan di dunia, melainkan sistem kewaspadaannya yang diturunkan. Alasannya, belum ditemukan pengobatan yang efektif dan penderita HIV masih terus bermunculan meski dalam jumlah yang relatif sedikit.
Situasi itu tak jauh berbeda dengan kondisi COVID-19 yang dikabarkan WHO masih merenggut nyawa setiap tiga menit pada pekan lalu. Selain itu, masih ada ribuan orang di seluruh dunia berjuang untuk hidup di unit perawatan intensif, jutaan lainnya terus hidup dengan efek melemahkan kekebalan tubuh dari kondisi long COVID-19.
Keputusan WHO mencabut status kedaruratan COVID-19 secara global, perlu disikapi pemangku kebijakan di setiap negara untuk segera beralih dari mode darurat ke penanganan COVID-19 jangka panjang melalui sistem mitigasi bersama menghadapi COVID-19, maupun penyakit menular lainnya.
Komite Kedaruratan WHO telah memastikan bahwa COVID-19 akan hidup di tengah masyarakat dalam jangka waktu panjang dan mengancam sakit sampai kematian. Bedanya saat ini, pandemi tidak menyebabkan kekacauan dunia.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) Pandu Riono berpandangan pencabutan status kedaruratan global akan menghilangkan intervensi pemerintah terhadap kendali COVID-19, dan menyerahkannya kepada inisiatif individu masyarakat.
Intervensi Pemerintah RI dalam menyikapi status kedaruratan global COVID-19 adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19 dan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional.
Kebijakan politik yang diambil saat itu di antaranya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berakhir 30 Agustus 2022, pengadaan vaksin COVID-19 di dalam negeri, penyediaan obat-obatan pasien COVID-19, program edukasi masyarakat, hingga biaya pemulihan kesehatan pasien COVID-19.
Pemerintah juga merogoh kocek hingga Rp77 triliun lebih pada 2022 untuk memulihkan situasi ekonomi nasional yang rontok diterjang pandemi COVID-19.
Dengan berakhirnya fase kedaruratan global, maka Pemerintah Indonesia perlu mencabut kedaruratan kesehatan di Indonesia dan lebih siap menghadapi situasi dalam negeri yang kembali normal.
Pandu mengingatkan Kementerian Kesehatan RI agar terus memperkuat surveilans dan membuat edukasi kepada masyarakat, seperti vaksinasi booster yang harus berlanjut secara gratis sampai stoknya habis, karena dibeli pakai dana darurat.
Situasi Indonesia
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, saat menghadiri Hari Puncak Peringatan Imunisasi Sedunia di Jakarta memastikan Indonesia segera mencabut status kedaruratan kesehatan, seiring laju kasus dalam 16 bulan terakhir selalu berada di bawah ambang batas aman WHO, yakni 8.000 kasus per hari.
Dalam dua kali pertemuan secara langsung dengan WHO, Indonesia menyatakan pandemi COVID-19 telah terkendali, dengan laju rata-rata kasus per hari di bawah 1.000 pasien. Meskipun saat ini terjadi tren peningkatan kasus konfirmasi berkisar 2.000 kasus per hari imbas varian terbaru corona serta pergerakan masyarakat selama libur Lebaran 2023.
Pada rapat tersebut juga disampaikan Budi bahwa Indonesia sudah siap untuk benar-benar melepas status kedaruratan COVID-19. Tetapi, karena pandemi bersifat global maka tidak mungkin Indonesia melepaskan status itu sendiri di saat negara lain masih bergelut dengan tren lonjakan kasus.
WHO telah menyampaikan kepada Indonesia untuk kembali melakukan konsultasi terkait kesiapan sistem pengendalian pandemi untuk jangka panjang.
Menjelang perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023, Menkes Budi masih memerlukan waktu untuk berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo selaku pihak yang berwenang untuk mencabut status kedaruratan kesehatan COVID-19 di Tanah Air.
Seiring hal itu, Kementerian Kesehatan sedang menyusun strategi transisi untuk mengakhiri status kedaruratan kesehatan dengan mengedepankan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap COVID-19 dalam jangka panjang.
Strategi jangka panjang yang dimaksud di antaranya dengan surveilans kesehatan di masyarakat, dan kesiapsiagaan fasilitas kesehatan dan obat-obatan, serta mempersiapkan kebijakan kesehatan lainnya, sebagai upaya ketahanan kesehatan nasional dan kesiapsiagaan atas kemungkinan adanya pandemi di masa yang akan datang.
Masyarakat juga diimbau agar tetap memperhatikan dan menjalankan protokol kesehatan. Upaya vaksinasi juga terus dijalankan terutama untuk meningkatkan perlindungan bagi kelompok masyarakat yang paling berisiko.
Pemerintah juga mempersiapkan langkah pencabutan status pandemi sesuai dengan Strategi Kesiapsiagaan dan Respon COVID-19 pada 2023 -2025 sesuai panduan WHO.
Pandemi COVID-19 yang telah menewaskan setidaknya 20 juta umat manusia dalam kurun tiga tahun terakhir telah mengajarkan kita untuk bertransformasi pada kebiasaan hidup yang lebih sehat. Prinsip kewaspadaan masih diperlukan meski status kedaruratan resmi berakhir, sebab bukan hal yang tidak mungkin, WHO bisa kembali menetapkan status tersebut di kemudian hari.