Sampit (ANTARA) - Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah Bima Eka Wardhana menyebut ritual tiwah tidak hanya bagian kegiatan keagamaan, tetapi juga merupakan kekayaan budaya dan warisan leluhur, khususnya umat Hindu Kaharingan, yang perlu dijaga kelestariannya.
“Ritual ini merupakan kekayaan budaya dan peninggalan leluhur masyarakat kita yang perlu dijaga kelestarian jangan sampai hilang ditelan zaman,” kata Bima di Sampit, Rabu.
Hal ini ia sampaikan usai menghadiri ritual tiwah di Desa Bukit Batu, Kecamatan Cempaga Hulu, tepatnya di lapangan SDN 1 Bukit Batu.
Di era globalisasi, saat teknologi semakin berkembang membawa kemudahan akses informasi turut berdampak pada perubahan terhadap kebudayaan manusia. Tak sedikit masyarakat yang meninggalkan gaya hidup yang dianggap ketinggalan zaman, sehingga sedikit demi sedikit warisan leluhur mulai terkikis.
Kondisi ini cukup memprihatinkan, karena pada dasarnya warisan leluhur merupakan kekayaan budaya yang tak ternilai harganya, sekaligus sebagai identitas bagi suatu suku maupun kelompok masyarakat serta bentuk penghormatan kepada leluhur.
Oleh sebab itu, Bima menekankan pentingnya menjaga warisan leluhur, salah satunya ritual tiwah. Selain merupakan kegiatan keagamaan dan kekayaan budaya, ritual tiwah juga memiliki potensi atau daya tarik wisata yang bisa menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
“Ritual tiwah ini merupakan salah satu potensi wisata yang perlu dikemas dan dipromosikan dengan baik. Sehingga, diharapkan bisa menarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang menyaksikan,” tuturnya.
Dalam kesempatan ini, ia mengapresiasi generasi muda di kalangan umat Hindu Kaharingan yang masih peduli dan memiliki minat yang tinggi dalam menjaga kelestarian ritual tiwah. Terbukti pada kegiatan yang dilaksanakan di Desa Bukit Batu melibatkan para kaula mudanya.
Baca juga: 703 calon PPS Pilkada Kotim jalani tes tertulis
“Saya yakin dengan keterlibatan generasi muda ini ritual tiwah tidak akan luntur ditelan zaman,” ucap Bima.
Kendati demikian, ia tidak memungkiri ritual tiwah mulai jarang ditemui di Kotim. Menurutnya, hal ini dikarenakan perlu perencanaan dan persiapan yang matang, baik dari segi dana, leluhur yang ditiwahkan, dan lain-lain. Bukan karena ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Disebutkan pula, bahwa untuk melaksanakan ritual tiwah memerlukan dana yang tidak sedikit, sehingga untuk efisiensi masyarakat memilih melaksanakan tiwah secara massal atau sekaligus beberapa leluhur yang telah disepakati untuk ditiwahkan.
Sementara ketika ditanya terkait kemungkinan ritual tiwah dimasukkan dalam kalender pariwisata, Bima menyebut bahwa ritual ini murni dari masyarakat dan berkaitan dengan ajaran agama Hindu Kaharingan, sehingga pihaknya tidak ikut campur dengan menjadikan ritual adat ini sebagai event tahunan.
“Disini kami hanya mencoba mensosialisasikan atau mempromosikan ke masyarakat agar ritual tiwah bisa diketahui secara luas dan banyak yang menyaksikan,” demikian Bima.
Ritual tiwah adalah upacara kematian dalam agama Hindu Kaharingan yang dilakukan suku Dayak Ngaju dan sub suku Dayak lainnya di Kalimantan Tengah. Ritual ini bertujuan mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal menuju tempat yang kekal abadi.
Ritual tiwah diberlakukan kepada orang atau anggota keluarga yang telah lama meninggal dan sudah dikubur lama, karena ritual ini membutuhkan tulang belulang dari orang yang telah meninggal. Tulang belulang tersebut kemudian akan diletakkan ke dalam sandung.
Baca juga: Halikinnor santai tanggapi langkah Irawati mendaftar ke sejumlah parpol
Baca juga: Disdik apresiasi KKKS Hasien gelar workshop transisi PAUD-SD
Baca juga: Pertama di Kalteng, pabrik pengolahan limbah medis di Sampit akan layani Kalimantan