Washington (ANTARA
News) - Menteri Luar Negeri AS John Kerry hari Kamis memuji keberhasilan
intervensi Prancis untuk menumpas militan garis keras di Mali utara dan
mendesak para pemimpin Bamako menyelenggarakan pemilihan umum.
Dalam pernyataan menjelang pembicaraan dengan Sekretaris Jendral
PBB Ban Ki-moon, Kerry mengatakan, Mali akan menjadi salah satu masalah
yang akan dibahas selama pertemuan pertama mereka di Kementerian Luar
Negeri AS, lapor AFP.
"Kami mendesak pemerintah (Mali) melanjutkan proses peralihan
politik menuju pemilihan umum dan meningkatkan negosiasi dengan
kelompok-kelompok yang tidak ekstrim di wilayah utara," kata Kerry.
Tentara Mali berusaha memilihkan keamanan setelah intervensi
militer pimpinan Prancis membantunya menghalau miiltan terkait Al Qaida
yang menguasai wilayah utara tahun lalu.
Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari
meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali,
Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi
Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil
di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret
2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang
baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan
secara militer.
PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika
berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara
Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan
2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih
besar.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah
payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara,
yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.
Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi
perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang
mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan
bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka
kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk
memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di
wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak
menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.
(M014)
AS puji keberhasilan intervensi Prancis di Mali
Kami mendesak pemerintah (Mali) melanjutkan proses peralihan politik menuju pemilihan umum dan meningkatkan negosiasi dengan kelompok-kelompok yang tidak ekstrim di wilayah utara."