Sebagian besar warga etnis Uighur, etnis muslim berbahasa Turki yang mendiami daerah kaya energi provinsi Xinjiang, jengkel atas larangan pemerintah China atas kebudayaan, bahasa dan agama mereka, serta wilayah tersebut yang beberapa kali menjadi lokasi terjadinya kekerasan etnis mematikan.
Bulan lalu, 21 nyawa menjadi korban dalam insiden di dekat kota jalur sutra lama, Kashgar, yang amerupakan kejadian paling banyak menelan korban jiwa semenjak Juli 2009, kala itu hampir 200 orang terbunuh dalam satu kerusuhan di ibukota Xinjiang, Urumqi.
China mengklaim telah memberikan kebebasan memadai di Xinjiang, akan tetapi sejumlah pejabat berupaya mempelajari bahasa etnis Uighur atau memahami lebih jauh Islam di sebuah negara yang resmimya atheis itu.
Wakil gubernur Xinjiang Shi Dagang mengaku telah menghabiskan lebih dari satu dekade bekerja di wilayah selatan Xinjiang dan tidak pernah membawa senjata api atau bahkan dikawal polisi.
Ini adalah pengalaman tersendiri bagi pejabat pemerintah yang menjadi wakil etnis mayoritas China, Han, yang sebagian besar bekerja di wilayah-wilayah padat populasi minoritas, ujar dia.
"Ada saling percaya antara kader Han dan etnis minoritas, kami bersahabat. Ketika kami bertamu ke rumah-rumah mereka, daging dan anggur menjadi sajian utama didampingi persembahan lagu dengan tari-tarian," kata Shi.
"Etnis minoritas adalah orang-orang yang naif dan jujur, sangat baik dan tidak dibuat-buat. Mereka sangat mencintai tamu," kata dia.
Pemerintah China membantah tudingan kebijakan mereka menjadi penyebab kekacauan di wilayah ini seraya mengalihkan tuduhan bahwa kaum militan sedang berupaya melancarkan serangan demi mendirikan negara Turkistan Timur.
(G006/H-AK)