Khatib: Empat Dimensi Nilai Ibadah Qurban

id Khatib: Empat Dimensi Nilai Ibadah Qurban, Khatib,

Khatib: Empat Dimensi Nilai Ibadah Qurban

Ilustrasi, Sapi milik warga Jalan Rajawali yang siap di jual untuk hari Raya Idul Adha 1435 Hijriah (FOTO ANTARA Kalteng/Ronny NT)

Empat dimensi yang pantas kita renungkan dari nilai ibadah qurban itu adalah dimensi tauhid, dimensi spiritual, dimensi moral, dan dimensi sosial,"
Palangka Raya (Antara Kalteng) - Setidaknya ada empat dimensi nilai ibadah qurban yang patut dijadikan pelajaran dan direnungkan setiap merayakan Idul Adha, seperti dicontohkan Nabi Ibrahim sebagai sosok manusia yang sanggup melaksanakan perintah Allah SWT.

"Empat dimensi yang pantas kita renungkan dari nilai ibadah qurban itu adalah dimensi tauhid, dimensi spiritual, dimensi moral, dan dimensi sosial," kata Ir H Syamsuri Yusup, M. Si di Palangka Raya, Minggu, saat menyampaikan khutbah hari raya Idul Adha di komplek TVRI Kalimantan Tengah.

Pelaksanaan shalat hari raya Idul Adha 1435 Hijriyah itu terlaksana atas kerja sama TVRI-Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Tengah yang dihadiri sejumlah wartawan, karyawan TVRI, dan tokoh masyarakat "Kota Cantik" Palangka Raya.

Menurut dia, dimensi tauhid seperti diimplementasikan Nabi Ibrahim yang mengorbankan putranya Ismail karena perintah Allah. Nabi Ibrahim mampu mengusir kepentingan pribadinya, dan mengedepankan cintanya kepada Allah SWT dari yang lain.

Sehingga, pantas jika kemudian Nabi Ibrahim dijuluki bapaknya tauhid dan abul anbiya (bapaknya para Nabi).

Syamsuri mengatakan dimensi kedua adalah spiritual. Ibadah qurban merupakan sarana pembuktian, keimanan, dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah yang mengorbankan putra kesayangannya (Ismail) dengan ikhlas seperti perintah Allah SWT dalam Al Quran.

Ibrahim berkorban semata-mata hanya karena perintah Allah dan mengharap ridha Allah. Ketulusan dan keikhlasan Ibrahim diabadikan dalam Al Quran surat Al-An`am ayat 162 yang artinya, "Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah. Tuhan pengatur semesta alam."

Dimensi ketiga moral yang di dalamnya mengandung beberapa pesan, di antaranya pengorbanan merupakan salah satu sikap moral yang jika dilakukan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan umat dan bangsa ini, kata Syamsuri yang juga dosen Universitas Palangka Raya (Unpar) tersebut.

Para adhniya dengan ikhlas mengorbankan hartanya untuk pembangunan rumah ibadah umat Islam seperti masjid, mushallah/langgar karena telah dijanjikan Allah SWT memiliki nilai pahala besar seperti disebutkan Rasulullah SAW, yang artinya "Barang siapa membangun sebuah masjid, maka kelak Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di dalam syurga."

Hal ini merupakan petunjuk dan tuntunan kepada pribadi muslim maupun golongan umat Islam untuk selalu taat terhadap ajaran agamanya. Membangun masjid harus didasari ketaqwaan, bukan karena alasan kepentingan lainnya, kata Syamsuri yang juga sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Tengah tersebut.

Contoh para pemimpin negeri ini ikhlas berkorban untuk kepentingan rakyat dan bangsa, tentu akan bersikap adil dan proporsional, kebijakannya untuk kemaslahatan semua tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kebenaran, katanya pada shalat Ied yang juga dihadiri Ketua PWI H Sutransyah.

"Ibadah qurban memberikan pelajaran kepada kita bahwa sifat dan karakter ke-binatang-an yang tidak mengenal aturan dan menghalalkan segala cara dengan mendzalimi sesamanya, haruslah disembelih dan dihapuskan dari diri manusia," katanya.

Dia mengatakan ibadah qurban bermakna pembebasan manusia dari kesewenang-wenangan manusia atas manusia lainnya. Ketika Allah mengganti Ismail dengan seekor binatang, tersirat pesan agar manusia tidak menginjak-injak harkat dan martabat manusia lainnya.

Sosial merupakan dimensi keempat dari nilai ibadah qurban yang setiap tahun dirayakan umat Islam sedunia. Ibadah qurban bukan hanya untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, tapi juga bertujuan bagi kemaslahatan di dunia. Dengan ibadah qurban, manusia dapat saling mengasihi dan memberi.

  "Kita berkorban memberi daging kepada fakir miskin untuk memperbaiki gizi. Kita berkorban untuk peduli terhadap kondisi lingkungan sekitar, berbuat baik kepada tetangga, membantu saudara-saudara kita yang dalam kesulitan, dan menyantuni anak yatim," katanya.




 (T.S019/B/M008/M008)