Ulin mulai langka, bahan baku perbaikan jembatan didatangkan dari Kaltim
Tamiang Layang (Antaranews Kalteng) - Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, Yumail J Paladuk mengaku kesulitan melaksanakan perbaikan jembatan berkontruksi kayu ulin atau kayu besi karena kayu tersebut makin sulit didapat, khususnya yang berukuran besar.
"Bahan bakunya sulit, apalagi kayu ulin untuk tiang berukuran 20 cm x 20 cm dan papan lantai berukuran 5 cm x 20 cm," kata Yumail di Tamiang Layang, Jumat.
Kayu ulin berukuran besar dulunya cukup mudah didapat di Kalimantan Tengah. Namun kini, kayu dengan nama latin eusideroxylon zwageri itu makin sulit didapat di pasaran karena sangat ketatnya aturan perniagaan kayu keras berbatang besar tersebut.
Berbagai referensi menyebutkan, ulin dikenal merupakan salah satu kayu terkuat di hutan Kalimantan. Namun kayu sejenis juga ditemukan di hutan daerah lain dengan penyebutan berbeda seperti bulian, bulian rambai, onglen di Sumatera Selatan, sedangkan di Kalimantan sendiri cukup banyak penyebutan lain untuk kayu ulin, yakni belian, tabulin, telian dan tulian.
Ulin makin langka karena kayu ini cukup sulit tumbuh dan pertumbuhannya lambat. Untuk mencapai ukuran siap panen, pertumbuhan pohon yang tingginya bisa mencapai 50 meter itu membutuhkan waktu puluhan tahun.
Sulitnya mendapatkan ulin berukuran besar berimbas pada terhambatnya sejumlah pekerjaan yang dilaksanakan secara swakelola melalui Unit Pemeliharaan Rutin (UPR) Jalan dan Jembatan. Tidak ada penjual kayu di Barito Timur yang menjual ulin berukuran besar sesuai ukuran yang dibutuhkan untuk pembangunan maupun perbaikan jembatan.
Umumnya penjual kayu beralasan tidak menjual ulin berukuran besar karena bahan baku kayu besi itu memang makin sulit didapat. Selain itu, tata niaga kayu ulin sangat ketat sehingga dinilai rawan berisiko berurusan dengan hukum.
Secara umum, jembatan yang kini rusak, semuanya berkontruksi kayu ulin. Kondisi ini memaksa pihak Dinas PUPR Barito Timur membeli ulin berukuran besar dari luar daerah, meski dengan harga tinggi.
"Seperti untuk perbaikan jembatan Maganding di Jakan Haringen, kami harus pesan bahan baku ulin itu dari Kalimantan Timur. Itupun hingga berbulan-bulan," katanya.
Saat ini cukup banyak jembatan rusak dan perbaikannya membutuhkan kayu ulin berukuran besar, di antaranya jembatan di Desa Bangkirayen dan Desa Hayaping, Kecamatan Awang. Jembatan Maganding di Desa Haringen, Kecamatan Dusun Timur dan jembatan Bentot di Desa Bentot, Kecamatan Patangkep Tutui.
Jembatan Maganding yang melintas di atas anak Sungai Sirau mengakami kerusak pada tahun 2017 dan baru bisa diperbaiki oleh Dinas PUPR Bartim pada Oktober 2018. Hal serupa juga terjadi pada perbaikan jembatan berkontruksi kayu ulin lainnya yang ada di Barito Timur.
Untuk menyiasati sulitnya mendapatkan ulin, pekerjaan terkadang mengoptimalkan bahan yang masih ada. Kayu ulin hasil pembongkaran akan dipilah-pilah. Jika masih ada yang kondisinya bagus, maka akan dimanfaatkan untuk perbaikan jembatan lainnya.
"Dengan kondisi seperti ini, kami harapkan masyarakat bisa bersabar. Dan bagi warga yang terganggu lalu lintasnya karena ada perbaikan jembatan, harap bisa memakluminya," katanya.
"Bahan bakunya sulit, apalagi kayu ulin untuk tiang berukuran 20 cm x 20 cm dan papan lantai berukuran 5 cm x 20 cm," kata Yumail di Tamiang Layang, Jumat.
Kayu ulin berukuran besar dulunya cukup mudah didapat di Kalimantan Tengah. Namun kini, kayu dengan nama latin eusideroxylon zwageri itu makin sulit didapat di pasaran karena sangat ketatnya aturan perniagaan kayu keras berbatang besar tersebut.
Berbagai referensi menyebutkan, ulin dikenal merupakan salah satu kayu terkuat di hutan Kalimantan. Namun kayu sejenis juga ditemukan di hutan daerah lain dengan penyebutan berbeda seperti bulian, bulian rambai, onglen di Sumatera Selatan, sedangkan di Kalimantan sendiri cukup banyak penyebutan lain untuk kayu ulin, yakni belian, tabulin, telian dan tulian.
Ulin makin langka karena kayu ini cukup sulit tumbuh dan pertumbuhannya lambat. Untuk mencapai ukuran siap panen, pertumbuhan pohon yang tingginya bisa mencapai 50 meter itu membutuhkan waktu puluhan tahun.
Sulitnya mendapatkan ulin berukuran besar berimbas pada terhambatnya sejumlah pekerjaan yang dilaksanakan secara swakelola melalui Unit Pemeliharaan Rutin (UPR) Jalan dan Jembatan. Tidak ada penjual kayu di Barito Timur yang menjual ulin berukuran besar sesuai ukuran yang dibutuhkan untuk pembangunan maupun perbaikan jembatan.
Umumnya penjual kayu beralasan tidak menjual ulin berukuran besar karena bahan baku kayu besi itu memang makin sulit didapat. Selain itu, tata niaga kayu ulin sangat ketat sehingga dinilai rawan berisiko berurusan dengan hukum.
Secara umum, jembatan yang kini rusak, semuanya berkontruksi kayu ulin. Kondisi ini memaksa pihak Dinas PUPR Barito Timur membeli ulin berukuran besar dari luar daerah, meski dengan harga tinggi.
"Seperti untuk perbaikan jembatan Maganding di Jakan Haringen, kami harus pesan bahan baku ulin itu dari Kalimantan Timur. Itupun hingga berbulan-bulan," katanya.
Saat ini cukup banyak jembatan rusak dan perbaikannya membutuhkan kayu ulin berukuran besar, di antaranya jembatan di Desa Bangkirayen dan Desa Hayaping, Kecamatan Awang. Jembatan Maganding di Desa Haringen, Kecamatan Dusun Timur dan jembatan Bentot di Desa Bentot, Kecamatan Patangkep Tutui.
Jembatan Maganding yang melintas di atas anak Sungai Sirau mengakami kerusak pada tahun 2017 dan baru bisa diperbaiki oleh Dinas PUPR Bartim pada Oktober 2018. Hal serupa juga terjadi pada perbaikan jembatan berkontruksi kayu ulin lainnya yang ada di Barito Timur.
Untuk menyiasati sulitnya mendapatkan ulin, pekerjaan terkadang mengoptimalkan bahan yang masih ada. Kayu ulin hasil pembongkaran akan dipilah-pilah. Jika masih ada yang kondisinya bagus, maka akan dimanfaatkan untuk perbaikan jembatan lainnya.
"Dengan kondisi seperti ini, kami harapkan masyarakat bisa bersabar. Dan bagi warga yang terganggu lalu lintasnya karena ada perbaikan jembatan, harap bisa memakluminya," katanya.