Jakarta (ANTARA) - Tim kuasa hukum Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi mengharapkan Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas kemuliaannya melalui putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum pada Kamis (27/6) nanti dengan putusan yang berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan (the truth and justice).
"MK harus menegakkan kebenaran dan keadilan secara utuh. Jika tidak, maka keputusan MK akan kehilangan legitimasi, karena tidak ada 'public trust' di dalamnya. Akibatnya lebih jauh, bukan hanya tidak ada 'public trust', namun juga tidak akan ada 'public endorsement' pada pemerintahan yang akan berjalan," kata Ketua Tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, satu saja unsur yang menjadi landasan atau rujukan keputusan MK mengandung unsur kebohongan dan kesalahan, maka keputusan MK menjadi invalid.
Misalnya dengan mempertimbangkan kesaksian ahli Prof Eddy Hiariej yang memberikan labelling buruk sebagai penjahat kemanusiaan kepada Le Duc Tho padahal Le Duc Tho (lahir di Nam Din Province pada 10 Oktober 1911) adalah Nobel Prize for Peace pada tahun 1973 meski ia akhirnya menolaknya.
Selain itu, lanjut Bambang, kesaksian dari saksi ahli 01, Prof Jazwar Koto dalam persidangan tentang adanya angka penggelembungan 22 juta yang dia jelaskan secara saintifik berdasarkan "digital forensic", sama sekali tidak dideligitimasi oleh KPU maupun Paslon 01.
Yang dipersoalkan terhadap Prof Jazwar Koto hanyalah soal sertifikat keahlian, padahal ia telah menulis 20 buku, 200 jurnal internasional, pemegang hak paten, penemu, dan pemberi sertifikat finger print dan eye print, serta menjadi Direktur IT di sebuah perusahaan yang disegani di Jepang.
Terkait kesaksian ahli Prof Jazwar Koto di persidangan yang tidak dibantah itu, kata dia, dapat dibayangkan jika mekanisme pembuktiannya dilakukan secara manual, mengadu C1 dengan C1 sungguh akan sangat membutuhkan waktu yang lama.
"Katakanlah pengecekan C1 dengan C1 membutuhkan waktu satu menit sekali pengecekan, maka pengecekan tersebut akan memakan waktu sekitar 365 tahun dengan asumsi pemilihnya sekitar 192 juta pemilih. Atau kalau pengecekannya didasarkan per TPS, dengan asumsi jumlah TPS 813.330 TPS, dan waktu pengecekan setiap TPS memakan waktu 30 menit, maka waktu yang dibutuhkan untuk pengecekan secara keseluruhan dapat memakan waktu sekitar 46 tahun lamanya," jelas mantan pimpinan KPK ini.
Berdasarkan keterangan saksi Idham Amiruddin, tambah Bambang, telah ditemukan 22 juta DPT siluman dalam bentuk NIK rekayasa, pemilih ganda, dan pemilih di bawah umur.
Pihaknya juga telah berkali-kali mengajukan protes dan keberatan terhadap adanya DPT siluman ini, namun KPU tidak pernah melakukan perbaikan yang serius terhadap DPT bermasalah tersebut.
"BPN Prabowo-Sandi juga telah melaporkan soal DPT siluman tersebut ke Bawaslu RI namun laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Tidak jelasnya DPT, sebenarnya telah cukup menjadi alasan bagi majelis hakim MK untuk membatalkan pelaksanaan Pilpres 2019 sebagaimana MK telah membatalkan Pilkada Sampang dan Maluku Utara Tahun 2018 karena ketidakjelasan DPT," papar Bambang.
Tidak adanya jaminan keamanan dan keandalan terhadap sistem perhitungan suara KPU, kata Bambang, sangat nampak dari pemaparan yang disampaikan oleh saksi ahli dari KPU maupun dari pemaparan komisioner KPU sendiri, yang senantiasa "ngeles" seperti yang sempat diutarakan Majelis Hakim Suhartoyo dalam persidangan, ketika ditanya oleh Hakim MK maupun oleh pihak Paslon 02.
"Terutama perihal upaya-upaya perbaikan atau komparasi dalam rangka pembenahan sistem perhitungan suara di KPU. Padahal UU ITE Pasal 15 Ayat 1 ditegaskan bahwa penyelenggara sistem informasi dan IT wajib memenuhi standar keamanan dan keandalan," katanya.
Setelah mendengar kesaksian Hairul Anas (saksi Paslon 02) dan mendengarkan keterangan saksi Anas Nasikin (Paslon 01), tambah dia, ternyata tidak ada perbedaan.
Kesaksian Hairul Anas telah dibenarkan dan diamini oleh saksi Anas Nasihin, di antaranya tentang power point yang berjudul "Kecurangan Adalah Bagian dari Demokrasi" beserta isi-isi power point lainnya.
Kedua, bahwa dalam acara TOT tersebut dihadiri oleh petahana, Presiden RI Joko Widodo, Kepala KSP Moeldoko, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, komisioner KPU, Bawaslu RI dan DKPP.
Dia menambahkan, dalam persidangan juga terbukti, setelah dilakukan inzage atau pemeriksaaan, ternyata KPU tidak dapat membuktikan adanya C7 (daftar kehadiran).
"Ketidakadaan C7 sangat fatal terkait dengan kepastian atas hak pilih rakyat. Oleh karena KPU tidak sanggup menghadirkan C7, Paslon 02 berharap MK memerintahkan KPU menghadirkan C7 sejalan dengan semangat judicial activism. Maka, dengan tidak dapat dibuktikannya siapa yang hadir memberikan suaranya dalam pemungutan suara di TPS, maka muncul pertanyaan suara itu suara siapa? Siapa yang melakukan pencoblosan?" kata Bambang.
Bahwa terbukti juga sebagai fakta persidangan di mana KPU membuat penetapan DPT tertanggal 21 Mei 2019, kata dia, artinya penetapan KPU tersebut dibuat setelah Pemilu tanggal 17 April 2019.
"Tentu, ini sesuatu yang sangat aneh," tegasnya.