Pemkab Kotim diminta lindungi hak masyarakat adat
Sampit (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah diminta meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang saat ini dirasakan makin tergusur oleh investasi besar yang makin gencar masuk ke daerah ini, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit.
"Dasar hukum yang memperkuat perlindungan hak-hak masyarakat adat sudah ada, tapi belum ditindaklanjuti pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur. Kita ketinggalan. Pemerintah pusat memberi pengakuan tapi di daerah belum ditindaklanjuti, padahal ini pengakuan negara terhadap hak adat," kata Pembina Forum Pemuda Dayak (Fordayak) Kotawaringin Timur M Abadi di Sampit, Sabtu.
Pernyataan itu disampaikan tokoh muda yang juga anggota Komisi II DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur ini saat Musyawarah Daerah IV DPD Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMDD-KT) Kotawaringin Timur.
Abadi menyebutkan, pemerintah pusat menegaskan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 34/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.
Pemerintah pusat menegaskan pengakuan bahwa kearifan lokal dilaksanakan untuk menyejahterakan masyarakat setempat. Untuk itu sudah seharusnya pemerintah daerah merealisasikan ini di lapangan.
Abadi menyayangkan karena fakta di lapangan tidak seperti diharapkan. Masih banyak kondisi yang bertentangan dengan semangat melindungi hak masyarakat dalam mengupayakan kesejahteraan hidup seperti yang sejak lama dijalankan.
Maraknya sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit menjadi contoh lemahnya perlindungan terhadap masyarakat lokal. Selain itu, hutan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat kini juga terus menyusut imbas masuknya investasi besar yang mengabaikan kearifan lokal yang dianut masyarakat selama ini.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak disebutkan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat, sedangkan Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Pengaturan Hutan Adat dan Hutan Hak dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pemangku Hutan Adat dan Hutan Hak dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan hutan lestari.
Pengaturan Hutan Adat dan Hutan Hak bertujuan agar pemangku Hutan Adat dan Hutan Hak mendapat pengakuan, perlindungan dan insentif dari Pemerintah dalam mengurus hutannya secara lestari menurut ruang dan waktu.
Selain itu, perlindungan hak masyarakat adat ini juga sudah ada dasar hukumnya di daerah, yakni Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 6 tahun 2012 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Salah satu isinya ditegaskan bahwa tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh mantir kerapatan adat desa/kelurahan dan damang kepala adat.
Sementara itu, tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur yang turun-temurun dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya dengan hak ulayat.
Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya maupun tanah kosong belaka.
Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak perorangan untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di atas tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat.
"Kami berharap aturan hukum yang sudah ada bisa dijalankan dengan baik di daerah. Pengakuan dari pemerintah pusat ini seharusnya membuat pemerintah kabupaten bisa lebih besar lagi dalam memperjuangkan masyarakat lokal atau masyarakat adat," demikian Abadi.
"Dasar hukum yang memperkuat perlindungan hak-hak masyarakat adat sudah ada, tapi belum ditindaklanjuti pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur. Kita ketinggalan. Pemerintah pusat memberi pengakuan tapi di daerah belum ditindaklanjuti, padahal ini pengakuan negara terhadap hak adat," kata Pembina Forum Pemuda Dayak (Fordayak) Kotawaringin Timur M Abadi di Sampit, Sabtu.
Pernyataan itu disampaikan tokoh muda yang juga anggota Komisi II DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur ini saat Musyawarah Daerah IV DPD Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMDD-KT) Kotawaringin Timur.
Abadi menyebutkan, pemerintah pusat menegaskan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 34/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.
Pemerintah pusat menegaskan pengakuan bahwa kearifan lokal dilaksanakan untuk menyejahterakan masyarakat setempat. Untuk itu sudah seharusnya pemerintah daerah merealisasikan ini di lapangan.
Abadi menyayangkan karena fakta di lapangan tidak seperti diharapkan. Masih banyak kondisi yang bertentangan dengan semangat melindungi hak masyarakat dalam mengupayakan kesejahteraan hidup seperti yang sejak lama dijalankan.
Maraknya sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit menjadi contoh lemahnya perlindungan terhadap masyarakat lokal. Selain itu, hutan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat kini juga terus menyusut imbas masuknya investasi besar yang mengabaikan kearifan lokal yang dianut masyarakat selama ini.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak disebutkan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat, sedangkan Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Pengaturan Hutan Adat dan Hutan Hak dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pemangku Hutan Adat dan Hutan Hak dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan hutan lestari.
Pengaturan Hutan Adat dan Hutan Hak bertujuan agar pemangku Hutan Adat dan Hutan Hak mendapat pengakuan, perlindungan dan insentif dari Pemerintah dalam mengurus hutannya secara lestari menurut ruang dan waktu.
Selain itu, perlindungan hak masyarakat adat ini juga sudah ada dasar hukumnya di daerah, yakni Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 6 tahun 2012 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Salah satu isinya ditegaskan bahwa tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh mantir kerapatan adat desa/kelurahan dan damang kepala adat.
Sementara itu, tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur yang turun-temurun dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya dengan hak ulayat.
Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya maupun tanah kosong belaka.
Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak perorangan untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di atas tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat.
"Kami berharap aturan hukum yang sudah ada bisa dijalankan dengan baik di daerah. Pengakuan dari pemerintah pusat ini seharusnya membuat pemerintah kabupaten bisa lebih besar lagi dalam memperjuangkan masyarakat lokal atau masyarakat adat," demikian Abadi.