Palangka Raya (ANTARA) - Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Tengah Lohing Simon mengusulkan kepada pemerintah provinsi, agar berupaya maksimal menarik kembali kewenangan dalam memberikan izin pertambangan rakyat yang sekarang ini sepenuhnya berada di pemerintah pusat.
Usulan tersebut merupakan tindaklanjut dari banyaknya aspirasi masyarakat Kalteng yang disampaikan kepada anggota DPRD provinsi terkait sulitnya mendapatkan izin pertambangan rakyat, kata Lohing di Palangka Raya, kemarin.
"Sekarang ini kan wewenang pemberian izin tambang rakyat tidak lagi di pemda, melainkan pemerintah pusat. Jadi, pemprov harus berupaya menarik kembali wewenang pemberian izin seperti dahulu," ucapnya.
Wakil rakyat Kalteng dari daerah pemilihan I meliputi Kota Palangka Raya, Kabupaten Katingan dan Gunung Mas itu mengaku sangat prihatin melihat kondisi masyarakat. Sebab, saat ini sebagian besar masyarakat Kalteng, semakin kesulitan untuk mendapatkan mata pencaharian.
Lohing mengatakan harga getah karet dan rotan yang menjadi andalan masyarakat lokal pun saat ini relatif murah, bahkan tidak sebanding dengan harga bahan pokok. Alhasil, tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat.
"Tambang emas secara tradisional dan sudah dilakukan turun-temurun pun dilarang. Padahal itu juga andalan masyarakat lokal Kalteng. Itu kenapa kami mengusulkan wewenang pemberian izinnya dikembalikan ke daerah," ucapnya.
Baca juga: Pemprov diminta tingkatkan jalan Simpang Penova-Tapin Bini
Selain mengupayakan pengembalian wewenang, Ketua Komisi II yang salah bidangnya terkait Sumber Daya Alam (SDA) itu menyarankan pemprov bersama kabupaten/kota menetapkan lokasi wilayah pertambangan rakyat, sehingga mempermudah pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) baru.
Menurut Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, pemerintah berkewajiban memberikan hak pengelolaan SDA kepada masyarakat lokal secara adil, dan tidak hanya kepada para investor.
Dia juga berharap pemda dan aparat penegak hukum lebih bijaksana menyikapi masyarakat yang menambang emas secara ilegal. Sebab, langkah tersebut dilakukan masyarakat bukan karena tak ingin mengurus izin, melainkan sulitnya prosedur pembuatannya.
"Kalau tidak ada izin, tentulah ilegal. Tapi, harus dilihat juga sisi kemanusiaan. Jika memang hanya masyarakat kecil yang mencari sesuap nasi, ya dipertimbangkan lah. Kecuali pertambangannya skala besar, itu baru ditindak sesuai aturan berlaku," demikian Lohing.
Baca juga: Kalteng terancam kehilangan 21 ribu hektare akibat tata batas
Baca juga: Prihatin dengan stok darah, Ketua DPRD Kalteng inisiasi donor darah