KPAI: PJJ terlalu lama dinilai picu siswa berhenti sekolah
Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (PJJ) yang terlalu lama dinilai dapat memicu siswa berhenti sekolah dan mendongkrak angka pernikahan dini pada peserta didik.
“Hasil pengawasan KPAI menunjuk kan bahwa PJJ akibat pandemi berpotensi kuat meningkatnya angka putus sekolah dan pernikahan anak,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
KPAI, lanjut Retno, mendapat pengaduan orangtua yang sulit membayar sekolah terutama sekolah swasta baik jenjang PAUD hingga SMA/SMA. Pengaduan mulai dari meminta pengurangan SPP karena adanya kebijakan PJJ dan masalah tunggakan SPP, mulai dari tiga bulan sampai 10 bulan.
Kebijakan PJJ yang terlalu lama dinilai akan menjadi salah satu pemicu peserta didik berhenti sekolah dan terancam kehilangan kesempatan belajar. Kondisi para siswa yang tidak memiliki fasilitas pendukung proses PJJ mendorong siswa malas dan putus sekolah sehingga memunculkan niatan menikah dini atau siswa memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orang tua kehilangan pekerjaan.
Baca juga: Tips dampingi anak penyandang disabilitas jalani PJJ
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat terdapat sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97 persen dikabulkan dan 60 persen yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Miftahul Akhyar mengatakan pernikahan bukan sekadar memenuhi syarat-syarat administratif saja. Islam tidak membatasi usia perkawinan, tetapi ada penekanan kedewasaan dan tujuan keharmonisan.
“Orang bisa mencapai ketenangan jiwa adalah orang yang dewasa, pintar, cerdas, dan bertanggung jawab. Kedewasaan, bertanggungjawab itu bisa didapatkan siapapun selama dia memiliki kemampuan dan pemahaman yang benar,” jelas Miftahul Akhyar.
Baca juga: Siswa tak miliki akses PJJ diminta untuk belajar di sekolah
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan kondisi pandemi COVID-19 saat ini turut memicu meningkatnya perkawinan anak yang harus diatasi. Banyak tantangan dan faktor yang terjadi salah satunya adanya pembatasan sosial.
“Adanya pembatasan sosial dan sistem pembelajaran dari rumah mengurangi aktivitas anak dan terbatasnya pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja,” kata Menkes.
Baca juga: Disdik Palangka Raya usulkan 40 sekolah pembelajaran tatap muka
Baca juga: Mendikbud sebut tiga dosa besar pendidikan pengaruhi perkembangan siswi
Baca juga: Nadiem Makarim targetkan semua sekolah tatap muka Juli 2021
“Hasil pengawasan KPAI menunjuk kan bahwa PJJ akibat pandemi berpotensi kuat meningkatnya angka putus sekolah dan pernikahan anak,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
KPAI, lanjut Retno, mendapat pengaduan orangtua yang sulit membayar sekolah terutama sekolah swasta baik jenjang PAUD hingga SMA/SMA. Pengaduan mulai dari meminta pengurangan SPP karena adanya kebijakan PJJ dan masalah tunggakan SPP, mulai dari tiga bulan sampai 10 bulan.
Kebijakan PJJ yang terlalu lama dinilai akan menjadi salah satu pemicu peserta didik berhenti sekolah dan terancam kehilangan kesempatan belajar. Kondisi para siswa yang tidak memiliki fasilitas pendukung proses PJJ mendorong siswa malas dan putus sekolah sehingga memunculkan niatan menikah dini atau siswa memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orang tua kehilangan pekerjaan.
Baca juga: Tips dampingi anak penyandang disabilitas jalani PJJ
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat terdapat sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97 persen dikabulkan dan 60 persen yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Miftahul Akhyar mengatakan pernikahan bukan sekadar memenuhi syarat-syarat administratif saja. Islam tidak membatasi usia perkawinan, tetapi ada penekanan kedewasaan dan tujuan keharmonisan.
“Orang bisa mencapai ketenangan jiwa adalah orang yang dewasa, pintar, cerdas, dan bertanggung jawab. Kedewasaan, bertanggungjawab itu bisa didapatkan siapapun selama dia memiliki kemampuan dan pemahaman yang benar,” jelas Miftahul Akhyar.
Baca juga: Siswa tak miliki akses PJJ diminta untuk belajar di sekolah
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan kondisi pandemi COVID-19 saat ini turut memicu meningkatnya perkawinan anak yang harus diatasi. Banyak tantangan dan faktor yang terjadi salah satunya adanya pembatasan sosial.
“Adanya pembatasan sosial dan sistem pembelajaran dari rumah mengurangi aktivitas anak dan terbatasnya pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja,” kata Menkes.
Baca juga: Disdik Palangka Raya usulkan 40 sekolah pembelajaran tatap muka
Baca juga: Mendikbud sebut tiga dosa besar pendidikan pengaruhi perkembangan siswi
Baca juga: Nadiem Makarim targetkan semua sekolah tatap muka Juli 2021