Vonis Edhy Prabowo dinilai tak cerminkan keadilan
Jakarta (ANTARA) - Hakim banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menilai hukuman pengadilan tingkat pertama bagi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo belum mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, sehingga memutuskan menjatuhkan pidana penjara lebih berat.
"Menimbang, bahwa penjatuhan pidana pokok kepada terdakwa tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang seharusnya ditangani secara ekstra dan luar biasa," demikian termuat dalam putusan Edhy Prabowo di laman Mahkamah Agung yang diakses di Jakarta, Kamis.
Majelis banding di PT DKI Jakarta memperberat vonis pidana bagi Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS subsider 3 tahun penjara.
Putusan di tingkat banding itu dijatuhkan pada 21 Oktober 2021 oleh Haryono selaku hakim ketua majelis dan Mohammad Lutfi, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik serta Anton Saragih masing-masing sebagai hakim anggota.
Putusan banding itu lebih berat dibanding vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan vonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subisider 6 bulan kurungan, dan kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS subsider 3 tahun penjara.
"Terlebih lagi terdakwa adalah seorang menteri yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang dan tidak jujur," kata hakim dalam putusan tersebut.
Edhy dinilai telah merusak tatanan kerja yang selama ini ada, berlaku, dan terpelihara dengan baik.
"Terdakwa telah menabrak aturan atau tatanan prosedur yang ada di kementeriannya sendiri," ujar hakim.
Sejumlah hal lain yang memberatkan menurut hakim banding adalah tipikor digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
"Sebagai konsekuensi Indonesia meratifikasi konvensi anti korupsi dengan UU No 7 Tahun 2006 artinya korupsi yang hanya diperangi dan menjadi musuh bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi musuh seluruh umat manusia," demikian disebutkan hakim.
Selain itu hakim banding juga menilai tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi dapat meruntuhkan sendi-sendi kedaulatan negara karena sebagai seorang menteri yang merupakan pembantu presiden, sudah seharusnya memahami ketentuan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
"Kekayaan alam tidaklah bisa dengan mudahnya dapat dieksploitasi untuk kepentingan orang," kata hakim.
Terhadap vonis PT DKI Jakarta tersebut, KPK menyatakan sepenuh menjadi kewenangan majelis hakim.
"Kami melihat putusan banding yang memperberat hukuman terdakwa, artinya majelis hakim punya keyakinan dan pandangan yang sama dengan tim jaksa KPK bahwa terdakwa secara meyakinkan terbukti bersalah menerima suap dalam pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benur," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.
KPK juga mengapresiasi putusan pidana uang pengganti senilai Rp9,6 miliar dan 77 ribu dolar AS.
"Hal tersebut penting sebagai bagian dari 'asset recovery' yang menyokong penerimaan negara melalui upaya pemberantasan korupsi," ujar Ali.
Dalam upaya banding tersebut, Ali menyebut yang mengajukan upaya hukum banding adalah Edhy Prabowo, bukan KPK.
"Saat ini KPK tentu menunggu sikap dari terdakwa atas putusan tersebut. Dalam prosesnya KPK telah menyiapkan memori kontra bandingnya," kata Ali pula.
JPU KPK memang "hanya" menuntut Edhy Prabowo untuk divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, karena dinilai terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
"Menimbang, bahwa penjatuhan pidana pokok kepada terdakwa tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang seharusnya ditangani secara ekstra dan luar biasa," demikian termuat dalam putusan Edhy Prabowo di laman Mahkamah Agung yang diakses di Jakarta, Kamis.
Majelis banding di PT DKI Jakarta memperberat vonis pidana bagi Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS subsider 3 tahun penjara.
Putusan di tingkat banding itu dijatuhkan pada 21 Oktober 2021 oleh Haryono selaku hakim ketua majelis dan Mohammad Lutfi, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik serta Anton Saragih masing-masing sebagai hakim anggota.
Putusan banding itu lebih berat dibanding vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan vonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subisider 6 bulan kurungan, dan kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS subsider 3 tahun penjara.
"Terlebih lagi terdakwa adalah seorang menteri yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang dan tidak jujur," kata hakim dalam putusan tersebut.
Edhy dinilai telah merusak tatanan kerja yang selama ini ada, berlaku, dan terpelihara dengan baik.
"Terdakwa telah menabrak aturan atau tatanan prosedur yang ada di kementeriannya sendiri," ujar hakim.
Sejumlah hal lain yang memberatkan menurut hakim banding adalah tipikor digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
"Sebagai konsekuensi Indonesia meratifikasi konvensi anti korupsi dengan UU No 7 Tahun 2006 artinya korupsi yang hanya diperangi dan menjadi musuh bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi musuh seluruh umat manusia," demikian disebutkan hakim.
Selain itu hakim banding juga menilai tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi dapat meruntuhkan sendi-sendi kedaulatan negara karena sebagai seorang menteri yang merupakan pembantu presiden, sudah seharusnya memahami ketentuan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
"Kekayaan alam tidaklah bisa dengan mudahnya dapat dieksploitasi untuk kepentingan orang," kata hakim.
Terhadap vonis PT DKI Jakarta tersebut, KPK menyatakan sepenuh menjadi kewenangan majelis hakim.
"Kami melihat putusan banding yang memperberat hukuman terdakwa, artinya majelis hakim punya keyakinan dan pandangan yang sama dengan tim jaksa KPK bahwa terdakwa secara meyakinkan terbukti bersalah menerima suap dalam pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benur," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.
KPK juga mengapresiasi putusan pidana uang pengganti senilai Rp9,6 miliar dan 77 ribu dolar AS.
"Hal tersebut penting sebagai bagian dari 'asset recovery' yang menyokong penerimaan negara melalui upaya pemberantasan korupsi," ujar Ali.
Dalam upaya banding tersebut, Ali menyebut yang mengajukan upaya hukum banding adalah Edhy Prabowo, bukan KPK.
"Saat ini KPK tentu menunggu sikap dari terdakwa atas putusan tersebut. Dalam prosesnya KPK telah menyiapkan memori kontra bandingnya," kata Ali pula.
JPU KPK memang "hanya" menuntut Edhy Prabowo untuk divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, karena dinilai terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.