Keamanan membaik, ekonomi kian sulit di Afghanistan

id Afghanistan,Keamanan membaik, ekonomi kian sulit di Afghanistan

Keamanan membaik, ekonomi kian sulit di Afghanistan

Arsip - Dua remaja putri mencari buku di kios buku di luar Universitas Kabul, sementara dua anggota Taliban berpose setelah meminta untuk difoto, di Kabul, Afghanistan, Oktober 2021. (ANTARA/Reuters/Jorge Silva/as)

Kabul (ANTARA) - Menyusul penarikan pasukan pimpinan Amerika Serikat dan pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban pada Agustus 2021, perang di Afghanistan telah berakhir, namun krisis ekonomi terus memburuk di negara itu.

"Terus terang, negara ini damai selama enam bulan terakhir, karena hampir tidak ada pertempuran di Afghanistan. Namun, sayangnya, beberapa saudara sebangsa meninggalkan negara ini, sebagian besar karena kesulitan ekonomi," kata analis politik dan mantan pegawai pemerintah Liluma Nuri mengamati kondisi negaranya.

Sejak pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban pada Agustus tahun lalu, tidak ada pertempuran besar yang dilaporkan di Afghanistan. Kelompok teror ISIS sejak saat itu belum melancarkan serangan besar apa pun.

"Kami bisa bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya bahkan pada tengah malam," tutur Noor Aqa, seorang pedagang sayuran di Kabul, kepada Xinhua.

Menyusul penarikan militer AS, Washington menjatuhkan sanksi kepada pemerintahan Taliban dengan membekukan aset senilai lebih dari 9 miliar dolar AS (Rp128,5 triliun) milik bank sentral Afghanistan, sehingga menjerumuskan negara yang bergantung pada bantuan tersebut ke dalam krisis ekonomi dan kemiskinan.

"Saat ini kami menikmati keamanan, tetapi sayangnya kami sangat kesulitan untuk mendapatkan naan (roti pipih tradisional) karena masalah ekonomi menghimpit semua orang," kata Abdul Sami, penduduk Kabul.

Wakil juru bicara pemerintah Taliban Inammullah Samangani mengatakan kepada Xinhua bahwa pemerintah telah bekerja keras untuk menstabilkan ekonomi.

Samangani menuding Washington atas buruknya situasi ekonomi di Afghanistan. Dia mengkritik keputusan AS yang mengalokasikan 3,5 miliar dolar AS aset Afghanistan kepada para korban serangan teror 9/11 tanpa persetujuan Taliban.

Keputusan yang berkaitan dengan cadangan devisa Afghanistan tersebut diambil secara tergesa-gesa dan tidak adil, yang menunjukkan sisi amoral AS, tutur Samangani kepada Xinhua dalam wawancara eksklusif pada Minggu (13/2).

Di era pascaperang, warga Afghanistan berharap melihat lebih banyak investasi untuk tujuan rekonstruksi.

"Mengingat keamanan telah dipastikan di seluruh Afghanistan, perusahaan-perusahaan nasional dan internasional dapat berinvestasi," kata ekonom Abdul Nasir Rushtia kepada Xinhua.