Sampit (ANTARA) - Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah Halikinnor mengatakan, perlu terobosan agar perusahaan perkebunan kelapa sawit menjalankan kewajibannya menyediakan kebun plasma 20 persen untuk masyarakat, salah satunya dengan mengonversinya pada nilai hasil panen sawit.
"Menurut saya ini solusi yang bagus. Jadi tidak ada lagi alasan perusahaan perkebunan sawit tidak bisa menjalankan kewajiban memberikan plasma. Kalau lahan kebunnya tidak ada, ya mereka memberikan hasil panen setara 20 persen dari luas kebun mereka," kata Halikinnor di Sampit, Sabtu.
Halikinnor mengatakan, solusi ini mulai diterapkan dalam masalah tuntutan plasma sawit di Wilmar Group. Dia langsung ikut dalam pembahasan dengan pimpinan perusahaan tersebut di Jakarta.
Menurutnya, sudah ada kesepakatan terkait masalah tersebut, yakni perusahaan akan memberikan plasma dalam bentuk uang senilai hasil panen kebun seluas 20 persen dari luas kebun.
Kesepakatan ini segera dilaksanakan dan diharapkan terwujud tanpa ada hambatan lagi. Ini sebagai solusi pemenuhan kewajiban setiap perusahaan menyiapkan kebun plasma seluas 20 persen dari luas hak guna usaha (HGU) perkebunan mereka.
Menurut Halikinnor, saat ini ada ada perusahaan di Kotawaringin Timur yang telah melaksanakan kewajiban menyediakan kebun plasma untuk masyarakat sesuai aturan. Namun, masih sangat banyak yang belum mematuhi kewajiban itu, bahkan ada yang sama sekali belum memberikan plasma untuk masyarakat di sekitar kebun.
Selama ini banyak perusahaan beralasan belum bisa menyediakan kebun plasma untuk masyarakat karena terkendala tidak ada lahan. Kini dengan solusi dalam bentuk pembagian hasil, maka tidak ada lagi alasan bagi perusahaan untuk tidak menjalankan kewajiban tersebut.
Baca juga: Pemkab Kotim alokasikan Rp800 juta untuk penimbunan jalan menuju sirkuit
Halikinnor sudah lama menyuarakan solusi tersebut. Dia bersyukur karena sudah ada perusahaan yang terbuka dan mau menjalankan solusi itu. Ini akan menjadi percontohan bagi perusahaan perkebunan lainnya untuk memenuhi kewajiban menjalankan plasma.
Menurutnya ini solusi yang sangat bisa dilaksanakan. Perusahaan menyalurkan uang hasil panen dari 20 persen kebun mereka kepada warga desa sekitar perusahaan. Penerimanya harus warga desa sekitar yang nantinya diverifikasi oleh pemerintah daerah.
"Saya minta masyarakat juga jangan ngotot menuntut dalam bentuk kebun, kalau memang lahannya tidak ada. Sekarang sudah ada solusi seperti ini, tentu ini lebih baik. Kalau menunggu harus ada kebun, kapan lagi warga bisa menikmati hasil plasma? Kita juga tidak tahu nanti siapa tahu aturannya berubah-ubah lagi," jelas Halikinnor.
Sementara itu terkait masih adanya sengketa ganti rugi lahan di beberapa perusahaan, Halikinnor menyatakan pemerintah daerah berada di posisi mendukung masyarakat, sepanjang itu sesuai aturan.
Perusahaan wajib mengganti rugi lahan masyarakat sesuai ketentuan. Jika tidak, perusahaan tidak boleh menggarap lahan warga dan wajib membiarkan warga menggarap lahannya, meski di sekelilingnya sudah merupakan kebun sawit milik perusahaan.
"Kalau ada lahan warga dalam HGU itu dan warga tidak mau diganti rugi, maka di-enclave. Biarkan saja. Jangan diganggu. Saya pernah lihat itu. Ada kebun karet warga di tengah-tengah kebun sawit perusahaan. Itu hak warga. Perusahaan jangan memaksa," demikian Halikinnor.
Saat ini terdapat 55 perusahaan perkebunan kelapa sawit. Peran perusahaan-perusahaan besar tersebut sangat diharapkan dalam membantu percepatan pembangunan daerah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Baca juga: Banjir di Kotim merendam 25 desa
Baca juga: Jalan lingkar selatan Sampit diharapkan bertahan hingga Desember