Awasi dan inventarisasi masalah perkebunan, Komite II DPD RI kunjungi Kalteng
Palangka Raya (ANTARA) - Anggota Komite II DPD RI Agustin Teras Narang menyatakan bahwa ada beberapa provinsi di Indonesia, termasuk di Kalimantan Tengah, yang mengandalkan perkebunan sebagai salah satu penopang perekomiannya.
Permasalahannya sampai sekarang ini masih banyak isu di sektor perkebunan yang belum menjawab rasa keadilan bagi masyarakat dan daerah, kata Teras Narang mewakili Komite II DPD RI saat berkunjung ke Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, Senin.
"Hal itulah yang menjadi salah satu alasan kami dari Komite II DPD RI untuk turun ke lapangan, termasuk ke Kalteng. Kami melakukan itu sebagai upaya melakukan pengawasan dan inventarisasi masalah-masalah di sektor perkebunan," tambahnya.
Kedatangan para senator Indonesia itu ke Kalteng juga karena provinsi terluas di Indonesia ini, telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang perkebunan berkelanjutan. Bahkan perda tersebut sudah terlebih dahulu ada dibandingkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2015.
"Artinya, Kalteng sebenarnya sudah bersiap diri dalam menghadapi 'ledakan' dari masalah-masalah perkebunan, terkhusus kelapa sawit," ucap Teras Narang.
Menurut mantan Gubernur Kalteng itu, perusahaan perkebunan sebenarnya menginginkan kepastian hukum, dan masyarakat sekitar benar-benar merasakan manfaatnya. Hanya, yang menjadi masalah adalah ketika berbicara keadilan dan kemanfaatan akan kehadiran investasi di sektor perkebunan.
Baca juga: Menentang UUD 45, Teras Narang tak setuju jabatan gubernur dihapus
Dia mengatakan, satu sisi pemerintah di Kalteng perlu memahami keinginan masyarakat adat untuk memiliki hutan adat, sebagai upaya pemeliharaan kebudayaan sekaligus area konservasi. Namun di sisi lain, sekarang ini luas alokasi penggunaan lain (APL) yang di tiap provinsi, terkhusus di Kalteng tidak seberapa.
"Itu pun yang diberikan bukanlah sungguh kawasan hutan. Alhasil, isu keadilan bagi masyarakat adat dan investasi, khususnya sektor perkebunan, membutuhkan perhatian serius," kata Teras Narang.
Untuk itu, lanjut dia, Komite II DPD RI ingin mendengar kesulitan-kesulitan di sektor perkebunan, termasuk masalah 20 persen luasan untuk kepentingan masyarakat, khususnya bagi perkebunan yang sudah memegang hak guna usaha (HGU).
"Apalagi jika sudah diagunkan ke perbankan. Ini semakin mempersulit pembagian 20 persen lahan pemegang HGU untuk masyarakat," kata dia.
Baca juga: Teras Narang dorong Kemen PUPR audit kondisi jembatan di Kalteng
Mantan Gubernur Kalteng periode 2005-2015 itu pun membenarkan bahwa daerah sendiri selama ini tak punya kewenangan luas dalam mengurai masalah penataan tata ruang wilayah. Terlebih setelah lahirnya UU Cipta Kerja yang semakin mengurangi peran daerah dalam menata wilayahnya sendiri.
Semestinya, lanjut dia, pemerintah pusat, sesuai semangat reformasi dan otonomi daerah, memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi daerah namun dengan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria atau NSPK. Dalam tata kelola pemerintahan, NSPK inilah dengan Standar Pelayanan Minimal yang mencegah terjadinya pelanggaran kewenangan oleh kepala daerah dan memastikan arah pelayanan publik serta pembangunan dapat berjalan baik.
"Kementerian terkait, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang hadir dalam kesempatan ini diharapkan mencatat dan menindaklanjuti permasalahan di sektor perkebunan Kalteng. Jadi, sektor perkebunan sungguh bermanfaat dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," demikian Teras Narang.
Baca juga: Tingkatkan kolaborasi pengamanan investasi di sektor pertambangan, kata Teras Narang
Baca juga: Pusat perlu ikut merevitalisasi Jembatan Tali Busur di perkampungan Dayak Tertua di Kalteng
Permasalahannya sampai sekarang ini masih banyak isu di sektor perkebunan yang belum menjawab rasa keadilan bagi masyarakat dan daerah, kata Teras Narang mewakili Komite II DPD RI saat berkunjung ke Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, Senin.
"Hal itulah yang menjadi salah satu alasan kami dari Komite II DPD RI untuk turun ke lapangan, termasuk ke Kalteng. Kami melakukan itu sebagai upaya melakukan pengawasan dan inventarisasi masalah-masalah di sektor perkebunan," tambahnya.
Kedatangan para senator Indonesia itu ke Kalteng juga karena provinsi terluas di Indonesia ini, telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang perkebunan berkelanjutan. Bahkan perda tersebut sudah terlebih dahulu ada dibandingkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2015.
"Artinya, Kalteng sebenarnya sudah bersiap diri dalam menghadapi 'ledakan' dari masalah-masalah perkebunan, terkhusus kelapa sawit," ucap Teras Narang.
Menurut mantan Gubernur Kalteng itu, perusahaan perkebunan sebenarnya menginginkan kepastian hukum, dan masyarakat sekitar benar-benar merasakan manfaatnya. Hanya, yang menjadi masalah adalah ketika berbicara keadilan dan kemanfaatan akan kehadiran investasi di sektor perkebunan.
Baca juga: Menentang UUD 45, Teras Narang tak setuju jabatan gubernur dihapus
Dia mengatakan, satu sisi pemerintah di Kalteng perlu memahami keinginan masyarakat adat untuk memiliki hutan adat, sebagai upaya pemeliharaan kebudayaan sekaligus area konservasi. Namun di sisi lain, sekarang ini luas alokasi penggunaan lain (APL) yang di tiap provinsi, terkhusus di Kalteng tidak seberapa.
"Itu pun yang diberikan bukanlah sungguh kawasan hutan. Alhasil, isu keadilan bagi masyarakat adat dan investasi, khususnya sektor perkebunan, membutuhkan perhatian serius," kata Teras Narang.
Untuk itu, lanjut dia, Komite II DPD RI ingin mendengar kesulitan-kesulitan di sektor perkebunan, termasuk masalah 20 persen luasan untuk kepentingan masyarakat, khususnya bagi perkebunan yang sudah memegang hak guna usaha (HGU).
"Apalagi jika sudah diagunkan ke perbankan. Ini semakin mempersulit pembagian 20 persen lahan pemegang HGU untuk masyarakat," kata dia.
Baca juga: Teras Narang dorong Kemen PUPR audit kondisi jembatan di Kalteng
Mantan Gubernur Kalteng periode 2005-2015 itu pun membenarkan bahwa daerah sendiri selama ini tak punya kewenangan luas dalam mengurai masalah penataan tata ruang wilayah. Terlebih setelah lahirnya UU Cipta Kerja yang semakin mengurangi peran daerah dalam menata wilayahnya sendiri.
Semestinya, lanjut dia, pemerintah pusat, sesuai semangat reformasi dan otonomi daerah, memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi daerah namun dengan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria atau NSPK. Dalam tata kelola pemerintahan, NSPK inilah dengan Standar Pelayanan Minimal yang mencegah terjadinya pelanggaran kewenangan oleh kepala daerah dan memastikan arah pelayanan publik serta pembangunan dapat berjalan baik.
"Kementerian terkait, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang hadir dalam kesempatan ini diharapkan mencatat dan menindaklanjuti permasalahan di sektor perkebunan Kalteng. Jadi, sektor perkebunan sungguh bermanfaat dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," demikian Teras Narang.
Baca juga: Tingkatkan kolaborasi pengamanan investasi di sektor pertambangan, kata Teras Narang
Baca juga: Pusat perlu ikut merevitalisasi Jembatan Tali Busur di perkampungan Dayak Tertua di Kalteng