Penipuan trading Pekerja Migran Indonesia dengan kerugian Rp3,7 miliar
Surabaya (ANTARA) - Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur mengungkap praktik penipuan trading oleh Pekerja Migran Indonesia yang merugikan korbannya sesama PMI sebesar Rp3,7 miliar.
Kapolda Jatim Irjen Pol. Toni Harmanto saat merilis kasus tersebut di Mapolda setempat, Selasa mengatakan dari pengungkapan pihaknya mengamankan pelaku berinisial SR binti AS.
"Korbannya adalah TRN warga Ponorogo beserta 258 korban yang tersebar di seluruh Indonesia, Hong Kong dan Taiwan. Dari kasus ini, kerugian yang diderita para korban mencapai Rp3,7 miliar," ujarnya.
Dengan terbongkarnya kasus ini, Kapolda berpesan agar PMI bisa mengetahui dan tidak tertipu dengan kasus yang sama.
Sementara itu, Dirreskrimsus Polda Jatim, Kombes Pol. Farman menjelaskan, tersangka SR ini saat itu bekerja di Hong Kong dan melakukan trading dengan aplikasi Trade-W yang diketahuinya dari majikannya pada 2014.
Pada Oktober hingga Desember 2021, SR menawarkan trading dengan nama "Arfa Forex Trading" kepada para korban melalui akun WhatsApp.
Kepada para korban, lanjut Farman, SR menjanjikan keuntungan sebesar 15-20 persen per minggu, serta uang modal bisa ditarik setelah 15 minggu dari mulai deposit.
Namun para korban menyetorkan uang dengan jumlah variatif, keuntungan yang dijanjikan tidak lancar bahkan tidak ada. Uang modal pun tidak bisa ditarik tanpa ada alasan yang jelas dan korban dirugikan.
"Trading Arfa Forex Trading milik tersangka SR ini tidak berbadan hukum alias ilegal," ujarnya.
Dari pengungkapan tersebut, polisi menyita barang bukti satu bendel formulir pendaftaran Arfa Forex Trading dengan sponsor atas nama DM, satu bendel formulir pendaftaran Arfa Forex Trading dengan sponsor atas nama SM, satu buah buku rekening Bank Mandiri dan satu buah kartu ATM Bank Mandiri.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 45A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 28 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 378 KUHP.
"Untuk Pasal 45A ayat (1) ancaman pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan Rp1 miliar. Sementara untuk Pasal 378 KUHP ancaman pidana penjara empat tahun," ujarnya.
Kapolda Jatim Irjen Pol. Toni Harmanto saat merilis kasus tersebut di Mapolda setempat, Selasa mengatakan dari pengungkapan pihaknya mengamankan pelaku berinisial SR binti AS.
"Korbannya adalah TRN warga Ponorogo beserta 258 korban yang tersebar di seluruh Indonesia, Hong Kong dan Taiwan. Dari kasus ini, kerugian yang diderita para korban mencapai Rp3,7 miliar," ujarnya.
Dengan terbongkarnya kasus ini, Kapolda berpesan agar PMI bisa mengetahui dan tidak tertipu dengan kasus yang sama.
Sementara itu, Dirreskrimsus Polda Jatim, Kombes Pol. Farman menjelaskan, tersangka SR ini saat itu bekerja di Hong Kong dan melakukan trading dengan aplikasi Trade-W yang diketahuinya dari majikannya pada 2014.
Pada Oktober hingga Desember 2021, SR menawarkan trading dengan nama "Arfa Forex Trading" kepada para korban melalui akun WhatsApp.
Kepada para korban, lanjut Farman, SR menjanjikan keuntungan sebesar 15-20 persen per minggu, serta uang modal bisa ditarik setelah 15 minggu dari mulai deposit.
Namun para korban menyetorkan uang dengan jumlah variatif, keuntungan yang dijanjikan tidak lancar bahkan tidak ada. Uang modal pun tidak bisa ditarik tanpa ada alasan yang jelas dan korban dirugikan.
"Trading Arfa Forex Trading milik tersangka SR ini tidak berbadan hukum alias ilegal," ujarnya.
Dari pengungkapan tersebut, polisi menyita barang bukti satu bendel formulir pendaftaran Arfa Forex Trading dengan sponsor atas nama DM, satu bendel formulir pendaftaran Arfa Forex Trading dengan sponsor atas nama SM, satu buah buku rekening Bank Mandiri dan satu buah kartu ATM Bank Mandiri.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 45A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 28 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 378 KUHP.
"Untuk Pasal 45A ayat (1) ancaman pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan Rp1 miliar. Sementara untuk Pasal 378 KUHP ancaman pidana penjara empat tahun," ujarnya.