Palangka Raya (ANTARA) - Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Sudarsono Soedomo menilai langkah pemerintah melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), untuk menagih denda kepada pelaku usaha perkebunan sawit ilegal berpotensi menimbulkan masalah baru.
Apabila tanah yang ditanami sawit benar-benar kawasan hutan terbentuk sesuai Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tidak masalah ditindak oleh pemerintah, kata Sudarsono melalui rilis diterima di Palangka Raya, Selasa.
"Tetapi faktanya, sebagian besar kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan baru sebatas penunjukan, belum melalui empat tahap sesuai pasal 15, yaitu penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan," ujar dia.
Pernyataan itu disampaikan dirinya menyikapi revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang sanksi administrasi pelanggaran kawasan hutan, yang baru saja diteken Presiden Prabowo Subianto.
Menurut dia, banyak lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan, sebenarnya telah lebih dulu dimanfaatkan masyarakat, baik untuk kebun karet, kopi, cokelat, sawit, maupun pemukiman yang sudah ada, bahkan sebelum Indonesia merdeka.
"Yang ilegal itu dalam banyak kasus, justru kawasan hutannya. Fakta ini yang diabaikan, bahkan menjadi rujukan," kata Sudarsono.
Untuk itu, dirinya menilai, revisi PP No.24/2021 tidak serta-merta memperbaiki iklim investasi. Sebab, selama definisi kawasan hutan masih keliru, kepastian hukum bagi investor tetap kabur. Bahkan, sekalipun kehutanan menguasai dua pertiga tanah Indonesia, tetapi kontribusinya ke PDB kurang dari 1 persen.
"Jadi, klaim kawasan hutan yang keliru justru menghambat pembangunan di luar Jawa, dan ini membuat investasi tidak menarik," ujar Sudarsono.
Akademisi IPB itu pun mencontohkan kasus tanah transmigrasi yang sudah bersertifikat hak milik, namun tiba-tiba diklaim masuk kawasan hutan. Padahal menurut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/2011, dalam kasus seperti ini, maka Pasal 4 UU No 41/1999 tentang Kehutanan batal. Artinya, klaim kawasan hutan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca juga: DPRD Kotim dukung kerja sama Agrinas dan BUMD kelola sawit
"Jika keputusan MK No 34/2011 itu diikuti, maka tidak ada yang namanya tumpang tindih SHM atau HGU dengan kawasan hutan, karena kawasan hutannya batal. Ini juga diabaikan, sehingga timbul ketidakpastian," beber dia.
Dirinya juga menyoroti bagaimana dengan petani plasma atau masyarakat kecil yang menggantungkan hidup pada sawit di kawasan yang disebut ilegal?. Untuk itu, perlu ada pendekatan keadilan
"Petani mampu bayar sewa 500 ribu rupiah per hektare per tahun. Bandingkan dengan HTI (hutan tanaman industri) yang kontribusinya hanya sekitar 280 ribu rupiah per hektare per tahun. Pilihlah kebijakan yang lebih memakmurkan rakyat," demikian Sudarsono.
Baca juga: Legislator Kotim minta Agrinas libatkan masyarakat lokal kelola perkebunan
Baca juga: DPRD Kotim sambut hangat kehadiran pabrik pengolahan sawit
Baca juga: Waket DPRD Pulpis akui Perkebunan kelapa sawit penyumbang utama PAD
