Dianggap merugikan petani sawit, PP No.45/2025 minta dikaji ulang

id Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia, Aspekpir, kalimantan tengah, kalteng, sawit, kelapa sawit

Dianggap merugikan petani sawit, PP No.45/2025 minta dikaji ulang

Ilustrasi Petani memetik tanda buah segar (TBS) kelapa sawit. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/bar

Palangka Raya (ANTARA) - Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia (Aspekpir) meminta pemerintah meninjau ulang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025, tentang pengenaan denda administratif di bidang kehutanan.

Permintaan itu karena PP No.45/2025 ini sangat merugikan petani sawit dan bisa merusak masa depan industri sawit nasional, kata Ketua Aspekpir Setiyono melalui rilis diterima di Palangka Raya, Jumat.

"PP No.45/2025 ini sangat mengerikan. Mayoritas petani PIR bagian dari program resmi pemerintah era 1980–1990-an, khususnya program transmigrasi. Itu kan program pemerintah," ucapnya.

Menurut dirinya, apabila sekarang tiba-tiba lahan program transmigrasi dimasukkan ke kawasan hutan, kemudian dikenai denda dan disita, artinya pemerintah tidak konsisten dengan programnya sendiri. Padahal banyak petani PIR baru mengetahui lahannya masuk kawasan hutan ketika mengikuti program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Setiyono mengatakan sebagian lahan bahkan sudah dipasangi plang kawasan hutan, sehingga petani tidak dapat melakukan peremajaan maupun menjaminkan sertifikat ke bank untuk mendapatkan modal. Alhasil, dari situ saja dampaknya sudah terasa, bahkan ada rasa takut dan waswas.

"Kalau aturan (PP 45/2025) ini diterapkan, petani bisa jatuh miskin. Program transmigrasi yang dulu menjadi jalan keluar dari kemiskinan, sekarang malah bisa memiskinkan lagi," jelas Sutiyono.

Dia pun bercerita ikut program transmigrasi pada tahun 1989 karena sangat menjanjikan. Di mana kala itu dirinya mempertaruhkan masa depannya dengan berangkat dari desa di Kediri, Jawa Timur merantau ke Sumatera. Kondisi daerah transmirasi pada awalnya begitu menyedihkan.

Di mana kala itu belum ada infrastruktur, sehingga untuk masuk ke rumahnya harus melewati medan yang sangat berat. Makan nasi dan garam sudah bukan hal yang biasa. Sampai akhirnya dia mengikuti program petani sawit PIR dari pemerintah. Dirinya mendapatkan lahan untuk ditanami kelapa sawit seluas 2 hektare yang dibelinya secara mencicil. Perjuangan berat dijalani Sutiyono dengan sabar sampai nasibnya berubah lebih baik.

Baca juga: Kadin Kotim minta Agrinas utamakan kearifan lokal dalam pengelolaan lahan sitaan negara

"Saya satu potret keras dari 400.000 anggota Aspekpir yang berjuang ke luar dari garis kemiskinan. Kami tersebar di 20 provinsi di Indonesia mulai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua," kata Sutiyono.

Berdasarkan catatan Aspekpir, luas lahan petani sawit PIR yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia, mencapai sekitar 800.000 hektare. Sejauh ini petani PIR yang sudah melapor lahan sawitnya dimasukkan ke kawasan hutan sebanyak 20 persen atau 160.000 hektare.

Setiyono mengatakan jika pemerintah menerapkan denda Rp25 juta per hektare per tahun, maka petani PIR akan menanggung beban sangat berat.

"Bayangkan tanaman tahun 80–90-an. Kalau 30 tahun dihitung, ini dendanya sangat besar. Padahal ini (petani PIR) program pemerintah," tegasnya.

Baca juga: Fraksi Gerindra Kotim sebut keberadaan Agrinas strategis dalam kepastian hukum

Ketua Aspekpir ini pun mengaku bahwa pihaknya telah menghadap dan bertemu kalangan Komisi IV DPR RI untuk menyampaikan aspirasi terkait PP No45/2025 ini. Dari pertemuan itu, pihak Komisi IV DPR RI memahami bahwa transmigrasi merupakan program yang bertujuan mengentaskan kemiskinan, sehingga bila PP tersebut tidak dikaju ulang dan dilaksanakan, maka dampaknya membuat rakyat bisa miskin lagi.

Dia menegaskan sangat mendukung upaya pemerintah dalam memperbaiki tata kelola sawit. Meski begitu, kebijakan yang dilakukan harus adil dan proporsional.

"Kalau ada yang nakal, silakan ditindak. Tapi jangan semua di-gebyah uyah. Petani PIR ini rakyat kecil yang ikut program pemerintah," kata paparnya.

Aspekpir pun berharap Presiden Prabowo Subianto turun tangan menyelesaikan persoalan ini secara adil dan baik. Termasuk lahan petani PIR dapat dikeluarkan dari kawasan hutan.

"Jika ada persoalan antar kementerian, selesaikan di tingkat pemerintah, jangan rakyat yang jadi korban. Kami dulu sudah susah, jangan disusahkan lagi," demikian Setiyono.

Baca juga: Pemkab Seruyan terbitkan Perbup Perlindungan Tenaga Kerja Perkebunan

Baca juga: PP 45/2025 dinilai mengancam keberlanjutan industri sawit Nasional

Baca juga: Denda sawit Rp25 juta per hektare sesuai PP No.45/2025 tuai sorotan


Pewarta :
Uploader : Admin 1
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.