Banjir Sumatera disebut pakar tanah dipicu siklon tropis ekstrem

id Pakar ilmu tanah IPB, Dr Basuki Sumawinata, IPB, Kalimantan Tengah, Kalteng, banjir di sumatera, banjir

Banjir Sumatera disebut pakar tanah dipicu siklon tropis ekstrem

Foto udara pekerja menggunakan alat berat membersihkan tumpukan kayu dan lumpur yang menimbun permukiman di Jorong Kayu Pasak, Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Selasa (9/12/2025). Pemerintah bersama pihak swasta mengerahkan sejumlah alat berat untuk membuka akses jalan dan mempercepat pencarian korban yang belum ditemukan, data BPBD Kabupaten Agam mencatat sebanyak 66 orang korban di kecamatan itu masih belum ditemukan. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/bar (ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN)

Palangka Raya (ANTARA) - Pakar ilmu tanah dari IPB University Dr Basuki Sumawinata menyebut banjir besar yang melanda sejumlah wilayah Sumatera, tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan keberadaan kebun kelapa sawit, karena dampak dari siklon tropis luar biasa yang membawa hujan ekstrem dalam waktu singkat.

Curah hujan selama kejadian siklon mencapai 400 mm dalam 1–3 hari atau jumlah yang jauh melampaui rata-rata bulanan, kata Basuki melalui rilis diterima di Palangka Raya, Selasa.

"Curah hujan sebulan biasanya 150–200 mm. Ketika 400 mm turun hanya dalam beberapa hari, tanah tidak mungkin mampu meresapkan air, sehingga terjadi aliran permukaan yang massif," ucapnya.

Selain itu, lanjut dia, menurut hasil pemantauan satelit, awan hujan akibat siklon tersebut memiliki cakupan 200–300 km, meliputi pegunungan, perbukitan, hingga dataran rendah.

Basuki mengatakan, bisa dibayangkan areal yang begitu luas menyangkut gunung dan perbukitan, air permukaannya mengalir dan berkumpul di pelembahan tentu akan menyebabkan aliran yang deras dan menyebabkan banjir dan longsor.

"Banjir pun menjadi semakin parah ketika mendekati daerah yang relatif datar terutama semakin dekat ke pantai," ujarnya.

Dirinya pun memberikan gambaran, 400 mm hujan setara 4.000 m³ air per hektare. Di mana dengan cakupan dari Aceh sampai Sumatera Barat, banjir pasti terjadi. Alhasil, tidak ada sistem lahan yang mampu menangani volume sebesar itu.

Basuki juga menjelaskan, sekalipun infiltrasi hutan lebih baik daripada kebun sawit, tidak ada sistem lahan yang bisa menahan 400 mm hujan per hari. Pada hutan primer pun akan terjadi run off besar ketika hujan ekstrem turun di lereng yang lebih curam.

"Bahkan erosi dan longsor lebih mungkin terjadi di hutan alami yang berada di topografi curam," kata dia.

Baca juga: Kelelahan hadapi bencana Sumatera, Basarnas tambah personel

Basuki mengungkapkan masyarakat Indonesia belum familier dengan fenomena siklon tropis, karena kejadian serupa jarang terjadi di wilayah Indonesia, terutama di lintang kurang dari 5 derajat. Hanya negara seperti Jepang, Taiwan, dan Vietnam Utara sudah terbiasa menghadapi taifun, sehingga sistem mitigasinya matang.

"Untuk Indonesia, ini kejadian luar biasa. Jadi untuk menghindari dampak siklon tropis adalah tidak ada lain adalah prediksi, peramalan dan mengungsi," jelasnya.

Menanggapi anggapan bahwa sawit menjadi pemicu banjir maupun longsor, Basuki menegaskan bahwa kebun sawit tidak dibangun di lereng curam. Lereng yang digunakan hanya sampai sekitar 15–20%. Di atas itu, sawit memang bisa tumbuh, tetapi tidak ekonomis untuk dikelola.

"Tidak logis mengaitkan sawit dengan longsor di daerah lereng. Selain itu, praktik budidaya sawit modern banyak dipantau melalui berbagai sistem sertifikasi untuk menjaga kepatuhan terhadap standar lingkungan," kata dia.

Baca juga: Iran tawarkan bantuan kemanusiaan usai banjir Sumatera

Selain itu, berdasarkan data historis, perkebunan sawit modern umumnya tumbuh di eks kebun karet rakyat, belukar, atau wilayah bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH), bukan dibuka dari hutan primer.

Menurutnya, sejumlah stigma yang sering diarahkan kepada sawit umumnya tidak berlandas pada data ilmiah.

"Mulai dari sawit boros air, sawit penyebab banjir, dan lain-lain. Banyak sekali mispersepsi," ujar Basuki.

Dari sisi lingkungan, sawit tetap memiliki fungsi ekologis lebih baik dibanding tanah terbuka atau belukar. Dengan laju fotosintesis tinggi, sawit berpotensi menjadi carbon sink yang efektif.

"Penyerapan karbon kebun sawit jauh lebih tinggi dibanding hutan primer," katanya.

Basuki mengaku sependapat dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa sawit dapat menjadi solusi krisis energi global. Sebab, tidak ada tanaman lain yang mampu menghasilkan 3 ton minyak per hektar, bahkan potensi maksimumnya bisa 6–7 ton.

"CPO dapat dengan mudah diolah menjadi bahan bakar mesin, menjadikan sawit komoditas energi yang sangat strategis," demikian Baasuki.

Baca juga: Wamen ESDM: Tambang emas bukan penyebab banjir bandang

Baca juga: 632 rumah warga di Sumsel diterjang banjir


Pewarta :
Uploader : Admin 2
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.