Jakarta (Antara Kalteng) - Putusan Komisi Yudisial (KY) yang merekomendasikan skorsing enam bulan (non-palu) kepada hakim Sarpin Rizaldi karena menemukan pelanggaran beberapa prinsip kehakiman diapresiasi oleh Koalisi Masyarakat Sipil sebagai pihak pelapor.
Kendati belum menerima langsung rekomendasi dari KY dan baru mengetahui dari pemberitaan di media, anggota Koalisi Masyarakat Sipil Julius Ibrani menyampaikan apresiasi karena KY menyelesaikan putusan terkait pelanggaran kode etik hakim Sarpin sesuai dengan waktu yang dijanjikan walaupun harus melalui upaya berat karena dua dari tujuh komisionernya yakni Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri diduga dikriminalisasi atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap hakim Sarpin.
"Kami mengapresiasi putusan KY sebagai preseden positif bahwasanya kekuasaan kehakiman itu terbatas, bukannya tanpa batas," ujar Julius saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Namun, ia pun tetap memberikan beberapa catatan terkait putusan KY tersebut diantaranya bahwa lingkup pemeriksaan KY lebih sempit daripada yang dilaporkan Koalisi Masyarakat Sipil terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim Sarpin.
"Saya membaca dari beberapa media bahwa lingkup pemeriksaan KY lebih sempit daripada yang kami laporkan. Dalam putusan tersebut tidak dibahas mengenai dugaan adanya mafia peradilan dalam praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan, misalnya tentang adanya perubahan nama hakim (yang menangani perkara tersebut) dan penunjukan hakim Sarpin secara mendadak," tuturnya.
Selain itu, menurut dia, KY juga tidak membahas tentang ruang lingkup praperadilan yang seharusnya sesuai dengan Pasal 77 KUHAP dan telah sengaja diperluas oleh hakim Sarpin dalam memutus praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan.
Padahal praktik memperluas kewenangan praperadilan di luar Pasal 77 KUHAP tersebut telah menjadi sumber kekisruhan praperadilan belakangan ini.
"Seharusnya dikatakan bahwa penanganan praperadilan yang dilakukan Sarpin itu tanpa dasar hukum, karena yang berhak menentukan perluasan (ketentuan perundang-undangan) bukanlah pengadilan tapi melalui proses legislasi nasional," katanya.
Menurut pendapatnya, jika semua hal yang menjadi dasar pelaporan dibahas dengan baik oleh KY maka sanksi yang paling tepat diberikan pada hakim Sarpin adalah pemecatan melalui mekanisme Majelis Kehormatan Hakim (MKH).
"Karena sudah jelas sikap Sarpin yang tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KY tidak menunjukkan etika dan moralitas yang baik sebagai seorang hakim," Julius menegaskan.
Sementara itu, menurut anggota komisioner KY Imam Anshori Saleh, pelanggaran prinsip yang dilakukan Sarpin bukanlah pelanggaran berat sehingga tidak perlu dibentuk MKH.
"Prinsip yang dilanggar yakni tidak teliti dalam mengutip keterangan ahli yang dijadikan pertimbangan untuk memutus sehingga yang disampaikan ahli bertentangan dengan yang dimuat hakim dalam putusannya," kata Imam melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (30/6).
Alasan lain adalah Sarpin dinilai tidak teliti menuliskan identitas ahli dengan menyebut Prof Sidharta sebagai ahli hukum pidana padahal yang bersangkutan adalah ahli filsafat hukum.
"Selanjutnya menerima fasilitas pembelaan dari kuasa hukum secara gratis," ungkap Imam.
Sarpin memang diketahui mendapat pembelaan secara cuma-cuma dari Hotma Sitompoel. Hotma yang mendapat kuasa dari Sarpin itu juga pernah melaporkan dua Komisioner KY, Suparman Marzuki dan Taufiqurrohman Syahuri dan mantan hakim agung, Komariah Sapardjaja ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri atas tuduhan pencemaran nama baik.
"Dan tidak rendah hati, yakni tidak memenuhi panggilan KY malah menantang kalau berani KY datang ke PN Jakarta Selatan," Imam menambahkan.
Sarpin memang menolak untuk diperiksa oleh KY bahkan meski KY mengirimkan surat panggilan agar Sarpin diperiksa di Pengadilan Tinggi Jakarta, kuasa hukum Sarpin juga menolak untuk diperiksa KY saat proses investigasi KY berlangsung.
"Sidang berlangsung alot, karena masing-masing komisioner menyampaikan argumentasinya," ujar Imam mengenai proses persidangan KY.
Hasil dari rekomendasi KY ini akan disampaikan KY ke Mahkamah Agung.
"Adapun soal teknis yudisial yang menyangkut penetapan tersangka menjadi obyek praperadilan diserahkan sepenuhnya kepada MA," katanya.
Hakim Sarpin dilaporkan Koalisi Masyarakat Sipil pada 17 Februari 2015 karena dugaan putusan praperadilan yang memenangkan gugatan Komjen Pol Budi Gunawan telah melenceng dari aturan.
Sarpin Rizaldi dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Februari 2015 menyatakan bahwa Komjen Pol Budi Gunawan tidak sah sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan.
Alasannya, Budi Gunawan bukan subjek hukum sebab ia bukan penyelenggara negara dan penegak hukum sebab hanya menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri ketika kasus itu berlangsung yaitu 2003-2006.
KPK sudah melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung sejak 2 Maret 2015, dan selanjutnya dilimpahkan ke Baresrkim Polri sejak 2 April 2015.