Kebakaran itu tak hanya membuat kebun-kebun yang menjadi penopang hidup masyarakat habis terbakar, tapi terjadi seorang warga meninggal dunia. Juga sejumlah rumah milik sejumlah warga ikut dilahap si jago merah dari rembetan karhutla, sehingga warga tidur tak nyenyak karena harus bersiaga sebulan penuh.
Sekitar 500 orang tentara didatangkan dari Pulau Jawa sampai harus menginap di desa ini hanya untuk memadamkan kebakaran itu.
"Karhutla di tahun 2015 benar-benar mengerikan. Kita berdoa semoga kebakaran seperti itu jangan sampai terulang lagi," kata seorang tokoh masyarakat Desa Garung, Taliman.
Kejadian traumatik yang telah berdampak pada rusaknya mata pencaharian, memburunya kesehatan, dan aktivitas warga, desa berpenduduk sekitar 1.000 lebih jiwa ini pun sadar pentingnya menjaga hutan dan lahan gambut yang ada di lingkungannya.
Kesadaran utama yang dibangun secara disiplin adalah meninggalkan kebiasaan membersihkan atau membuka lahan dengan cara dibakar. Seluruh warga saling mengingatkan agar tidak membakar lahan, walau untuk membuka ladang.
Sebagai upaya dini menertibkan dan mencegah pelanggaran itu dibentuk kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) yang bertujuan untuk mencegah, memantau dan memadamkan apabila ada lahan atau hutan terbakar.
Tumbuhnya kesadaran dan seriusnya masyarakat desa Garung dalam mencegah dan menanggulangi karhutla pun mulai terbukti, pada tahun 2016 dan 2017 desa tersebut sudah tidak lagi warga melakukan pembakaran lahan atau hutan untuk berkebun atau berladang.
Apabila kesadaran masyarakat di Desa Garung menjaga lingkungan rendah, mungkin setiap tahun terjadi karhutla. Kedalaman Gambut di Desa Garung ini mencapai lebih dari empat meter, bahkan ada yang mencapai 12 meter.
"Jadi memang lahan di desa ini rawan terbakar ketika musim kemarau," ujarnya.
Selain mencegah terjadinya karhutla, Pemerintah Desa Garung bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) serta seluruh elemen masyarakat desa didampingi lembaga swadaya masyarakat USAID Lestari berupaya mewujudkan Hutan Desa seluas 2.184 hektare.
Rencana lokasi hutan desa tersebut telah disampaikan ke Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Provinsi Kalimantan Tengah, dan sekarang ini sedang dalam proses melengkapi administrasi, agar diusulkan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pulang Pisau untuk diteruskan ke Bupati setempat.
Disediakannya hutan desa, menurut Kepala Desa Garung, Wanson. bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan yang dapat diwariskan ke anak cucu. Dengan demikian meskipun zaman semakin maju, tetap ada yang ditinggalkan sehingga masyarakat Desa Garung di masa mendatang merasa memiliki hutan desa ini
Langkah Desa Garung dalam mewujudkan hutan desa tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat atau daerah. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, Sri Suwanto, menyatakan sekarang ini masyarakat telah memiliki akses untuk mengelola hutan setelah adanya program Perhutanan Sosial, dan Program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
Program Perhutanan Sosial memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan, dan TORA lebih kepada aset pengelolaan. Skema pengelolaan hutan tersebut dapat melalui Pengelolaan Hutan Bersama (PHB), hutan kemasyarakatan, hutan adat dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), serta hutan kemitraan.
Hanya, untuk mendapatkan pengelolaan hutan tersebut tidak asal diajukan. Masyarakat harus mengajukan melalui kepala desa, camat setempat, dilanjutkan ke bupati, ke gubernur dan diteruskan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sehingga bias ditetapkan sesuai dengan skema yang diinginkan.
"Sebelum diusulkan ke Kementerian LHK, kita akan melakukan pengecekan terlebih dahulu. Benar atau tidak yang diusulkan itu milik masyarakat. Sebab, TORA ini harus murni milik masyarakat, bukan korporasi," kata Suwanto.
Bantuan Pemerintah
Masyarakat Desa Garung sudah menunjukkan kerja kerasnya mencegah karhutla dalam dua tahun terakhir ini dan menyediakan hutan desa. Namun masyarakat sekitar membutuhkan bantuan pemerintah, baik daerah atau pusat, untuk mencarikan solusi bagaimana bercocok tanam yang tepat, khususnya tanaman pangan, sehingga hasilnya optimal dan dapat diandalkan sebagai mata pencaharian kehidupannya.
Tokoh masyarakat Desa Garung, Taliman mengatakan tanah di desa ini sulit ditanami tanaman pangan karena kedalaman gambutnya antara empat sampai 12 meter, sehingga bila mau bercocok tanam memerlukan penanganan khusus yang menelan biaya besar dan berakibat tidak efisien.
Penduduk Desa Garung sudah sangat menyadari bahaya membersihkan atau membuka lahan dengan cara dibakar, tapi kondisi sekarang ini tanaman pangan tidak mudah tumbuh.
Kalaupun bisa tumbuh, perlu ada pupuk yang sangat banyak. Selain hasil tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan, penduduk di desa ini juga tidak mampu membeli pupuk itu.
Program cetak sawah yang digagas Pemerintah Pusat pada tahun 2017 telah masuk di Desa Garung. Hanya, cetak sawah yang mencapai delapan hektar tersebut dianggap tidak efektif karena lahan yang telah dibuka sama sekali belum bisa ditanami tanaman pangan, khususnya padi.
Penduduk, khususnya petani setempat sebenarnya lebih mempermasalahkan lahan yang dibuka tidak terlalu luas dan lahan tidak langsung dapat ditanami tanaman pangan.
Sementara itu Pemerintah Desa Garung juga berupaya mencarikan solusi dalam bercocok tanam yang tepat bagi warganya. Dana desa yang ada atas hasil kesepakatan seluruh penduduk sekitar, untuk sementara ini masih difokuskan pada perbaikan jalan dan jembatan menuju kebun masyarakat, termasuk memberikan pelatihan kelompok tani dan nelayan serta kelompok Posyandu.
Dana Desa di tahun 2015 sekitar Rp280 juta, tahun 2016 sekitar Rp400juta lebih, dan tahun 2017 sekitar Rp822 juta, mayoritas dipergunakan untuk perbaikan infrastruktur.
"Kita sedang berupaya mencari bantuan dari berbagai pihak agar ada pelatihan kepada masyarakat terkait bercocok tanam tanaman pangan yang tepat," kata Wanson.
Kesadaran dan semangat penduduk Desa Garung dalam menjaga lingkungan serta mencegah karhutla hendaknya tidak hanya sekadar diapresiasi, namun perlu ada langkah serius dari berbagai pihak secara berkelanjutan, khususnya Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau bersama Provinsi Kalimantan Tengah dan Pusat, untuk menjaganya dengan membekali ketrampilan bercocok tanam dan membuat mata pencaharian yang tidak mengganggu kelestarian hutan.
"Sekuat apapun upaya kami dari Pemerintah Desa meyakinkan masyarakat agar tetap konsisten menjaga lingkungan, tapi ketika kebutuhan hidup tak lagi mampu dipenuhi, bukan tidak mungkin akan kembali lagi membersihkan lahan dengan cara dibakar. Kami tetap memerlukan bantuan dari semua pihak," demikian Wanson.