Kampanye pilpres dinilai terlalu banyak mengumbar kata-kata

id pilpres,kampanye,pengamat politik,mengumbar kata

Kampanye pilpres dinilai terlalu banyak mengumbar kata-kata

Anggota Komunitas Kuliner Binjai memakai topeng bergambar Bakal Calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto berswafoto dengan pengemudi ojek daring di Medan, Sumatera Utara, Kamis (13/9). Aksi tersebut guna menyerukan kepada masyarakat terutama pengguna sosial media untuk tidak saling hujat dan menyebarkan ujaran kebencian menjelang Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

Jakarta (Antaranews Kalteng) - Pengamat politik dari Universitas Paramadina Yandi Hermawandi mengatakan kampanye pemilihan presiden terlalu banyak mengumbar kata-kata yang tidak perlu.

Hal itu justru menjauhkan dari esensi demokrasi serta tidak produktif bagi pemilih.

Menurut Yandi di Jakarta, Selasa, pernyataan seperti politikus sontoloyopolitik genderuwo atau tampang Boyolali menjadi permainan yang terus direproduksi, sementara did alamnya tidak ada informasi yang dibutuhkan masyarakat dalam menentukan pilihan.

"Politik sontoloyo dan genderuwo vs muka Boyolali tidak akan berefek  pada target elektabilitas. Kampanye politik dengan instrumen semantik (word war/debat diksi) seperti ini hanya berefek pada perhatian pemilih (atensi) tapi tidak berefek pada pilihan (preferensi)," katanya.

Ia mengatakan, pemilih rasional, terutama dari kalangan milenial, masih menunggu perbedaan dari program-program unggulan pasangan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo Sandi.

"Kampanye politik seharusnya menjadi momentum untuk semakin mempertajam tawaran diferensiasi dari program-program unggulan para kandidat ke pada masyarakat," katanya.

Selain itu, menurut Yandi, pernyataan para capres dan cawapres tersebut berpotensi menjadi Hoax karena ada kesalahan berpikir. Padahal publik saat ini sedang giat menghindari berita bohong atau hoaks

Menurut dia, pernyataan politikus sontoloyo, politik genderuwo, tampang boyolali, masuk dalam kategori kesalahan berpikir (intelektual cul-de-sac) karena tidak ditopang oleh argumentasi yang kuat. 

"Dalam logika komunikasi politik ini biasa disebut 'fallacy of hasty generalization', kekeliruan berpikir karena membuat suatu generalisasi yang terbaru-buru," katanya.