Pengusaha berharap ada solusi terkait pembatasan angkutan di Pelabuhan Sampit

id Pengusaha berharap ada solusi terkait pembatasan angkutan di Pelabuhan Sampit, Kalteng, Sampit, pelabuhan Sampit, Kotim, Kotawaringin Timur

Pengusaha berharap ada solusi terkait pembatasan angkutan di Pelabuhan Sampit

Agung Adi Nugroho, perwakilan salah satu perusahaan jasa angkutan barang saat diwawancarai, Senin (19/4/2021). ANTARA/Norjani

Sampit (ANTARA) - Pengusaha angkutan berharap ada solusi terkait kebijakan pembatasan truk masuk kota, termasuk yang menuju Pelabuhan Sampit oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah karena dampaknya bisa memicu gejolak harga kebutuhan pokok.

"Kami berharap segera ada kebijakan baru dari pemerintah daerah yang menciptakan 'win-win solution' atau saling menguntungkan sehingga perekonomian masyarakat berjalan lancar dan kebutuhan pokok menjelang lebaran bisa terpenuhi. Kita harus duduk bersama. Kita cari solusi terbaik," kata Agung Adi Nugroho perwakilan PT Agung Novia Sejahtera, salah satu perusahaan angkutan di Sampit, Senin.

Hal ini disampaikannya menanggapi kebijakan pemerintah daerah melarang truk dan kendaraan berat lainnya masuk melintasi jalan dalam Kota Sampit mulai 13 April lalu. Apalagi kebijakan itu membuat PT Dharma Lautan Utama yang selama melayani angkutan kendaraan dari Surabaya dan Semarang menuju Pelabuhan Sampit, kini memilih menghentikan sementara operasional kapal mereka.

Kebijakan larangan truk masuk kota tersebut dirasakan sangat berdampak terhadap angkutan logistik yang beraktivitas di Pelabuhan Sampit meski kemudian Dinas Perhubungan mengizinkan mereka beroperasi namun hanya dengan muatan 50 persen kapasitas kendaraan dan pada jam yang ditentukan.

Agung menilai, kebijakan tersebut sangat berdampak luas. Apalagi saat Ramadhan seperti sekarang ini pasokan logistik dari Jawa ke Sampit seharusnya berjalan dengan lancar, namun dengan adanya kebijakan itu maka otomatis distribusi barang terganggu dan bisa memicu kelangkaan. 

Seperti Selasa (20/4) seharusnya ada kapal dari Surabaya sandar di Pelabuhan Sampit, namun dengan pembatalan pelayaran kapal milik PT Dharma Lautan Utama maka otomatis distribusi barang ke daerah ini terganggu dan berdampak pada ketersediaan barang kebutuhan.

Hal yang ditakutkan nantinya adalah terjadinya gejolak harga di pasar karena adanya kelangkaan bahan kebutuhan, khususnya yang didatangkan dari Pulau Jawa melalui Pelabuhan Sampit. Jika itu terjadi maka yang merasakan dampaknya adalah masyarakat, padahal saat bulan suci Ramadhan ini masyarakat biasanya banyak berbelanja untuk kebutuhan pokok.

Baca juga: Kadin khawatir pembatasan angkutan ke Pelabuhan Sampit berdampak luas

"Bahkan tadi saya dapat informasi sudah ada beberapa komoditas sayuran yang mengalami kenaikan harga. Kalau distribusi terganggu maka dampaknya memang terjadi kenaikan harga. Seperti telur kan didatangkan dari Blitar, juga terdampak akibat tidak ada kapal yang mengangkut ke Sampit," kata Agung.

Disinggung soal opsi pembatasan muatan 50 persen agar diperbolehkan masuk ke dalam kota, menurut Agung, itu tetap memberatkan. Pengusaha angkutan dan pemilik barang akan mengeluarkan biaya tinggi sehingga dipastikan akan berdampak pada harga barang yang dijual kepada masyarakat.

Dia mencontohkan, biaya angkutan menggunakan fuso menuju Sampit berkisar Rp10 juta hingga Rp12 juta, tergantung lokasi tujuan. Dari biaya itu pengusaha angkutan harus mengeluarkan biaya operasional, biaya bongkar dan lainnya. 

Jika muatan dibatasi hanya 50 persen, maka yang merasakan dampaknya adalah pemilik barang dan pengusaha angkutan karena otomatis biaya yang dikeluarkan juga akan bertambah.

Begitu pula jika harus beralih ke Pelabuhan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat seperti yang saat ini terpaksa dilakukan, dampaknya juga menimbulkan pembengkakan biaya. Dampak akhirnya juga dirasakan masyarakat yakni kenaikan harga barang.

Baca juga: DPRD Kotim segera tindak lanjuti aspirasi terkait angkutan logistik ke pelabuhan

"Kalau dialihkan ke Pelabuhan Kumai maka perlu biaya tambahan karena jarak dari Sampit ke Kumai sejauh lebih dari 249 kilometer tentu membutuhkan bahan bakar dan biaya operasional tidak sedikit. Itu belum termasuk biaya suku cadang dan perawatan kendaraan karena lebih cepat rusak sehingga terjadi pembengkakan biaya," tambah Agung.

Agung berharap ada kebijakan dan toleransi dari pemerintah daerah karena ini menyangkut kebutuhan masyarakat luas. Aktivitas kendaraan mereka juga tidak setiap hari, tetapi hanya ketika ada kapal datang. 

Pemberlakuan jam juga diharapkan disesuaikan dengan kondisi agar tidak memberatkan pelaku usaha. Hal ini menyangkut jadwal kedatangan kapal yang berbeda-beda sehingga berpengaruh terhadap efisiensi jika kendaraan terlalu lama menunggu agar bisa melintas pada waktu yang diperbolehkan.

Sementara itu Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan Kotawaringin Timur Siagano melalui suratnya yang ditujukan kepada PT Dharma Lautan Utama terkait adanya toleransi untuk angkutan dari dan menuju Pelabuhan Sampit namun hanya 50 persen kendaraan dan padan waktu yang ditentukan yaitu pukul 21.00 WIB hingga 05.00 WIB.

"Kami berharap itu bisa dipatuhi karena sudah diberi dispensasi. Sesuai RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Sampit, Pelabuhan Sampit hanya diperuntukkan untuk turun penumpang, sedangkan untuk barang bongkarnya di Pelabuhan Bagendang," demikian Siagano.

Baca juga: Distribusi logistik ke Kotim mulai terdampak larangan truk masuk kota