Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan sampai saat ini masih ada sekitar 1.600 lokasi pertambangan tanpa izin (PETI) di Indonesia yang perlu diselesaikan.
"Saat ini, kami identifikasi (PETI) ada 2.741 lokasi. Untuk wilayah pertambangan rakyat (WPR), ini yang sudah ditetapkan lokasinya ada di 1.092 lokasi. Masih ada sisanya kurang lebih 1.600 yang perlu segera diselesaikan," ungkap Arifin saat menjadi pembicara kunci dalam sarasehan "Sinkronisasi Tata Kelola Pertambangan Mineral Utama Perspektif Politik, Hukum, dan Keamanan di Jakarta, Selasa.
Arifin menyatakan pemerintah telah melakukan langkah-langkah terkait dengan penanganan PETI tersebut, yakni melalui jalur penindakan melalui penegakan hukum, penerapan sistem digitalisasi, dan jalur formalisasi melalui penerbitan izin pertambangan rakyat (IPR) dan bina pengawasan (binwas).
Selain itu, Arifin juga menyebutkan pemerintah bersinergi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) atau pemerintah daerah (pemda) untuk mencegah PETI.
Langkah yang ditempuh, yaitu meminta pemerintah daerah memberikan rekomendasi WPR dan memberikan kemudahan penerbitan IPR.
"Yang sangat kita harapkan adalah kelengkapan dari WPR ini harus disusul dengan IPR yang masih sangat sedikit dan kami meminta unsur dari Forkopimda untuk bisa membantu bagaimana ini bisa segera daerah-daerah untuk melakukan rekomendasi issuance (penerbitan) IPR-nya," ujar Arifin.
Pemerintah juga memperluas cakupan wilayah pertambangan rakyat. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, kegiatan pertambangan rakyat bisa dilakukan di wilayah seluas maksimal 100 hektare dan paling dalam 100 hektare. Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 rakyat hanya bisa menambang di wilayah seluas dan sedalam maksimal 25 hektare.
Kementerian ESDM juga membagi dua kategori luas wilayah untuk setiap IPR di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. IPR dapat dikeluarkan untuk orang perseorangan paling luas 5 hektare, sedangkan IPR untuk koperasi diberikan dengan wilayah paling luas 10 hektare.
"Mengenai pengelolaan tambang ilegal ini memang sudah ada di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, satu klausul menyebutkan bahwa izin untuk pertambangan rakyat itu diperluas yang tadinya 25 hektare menjadi 100 hektare dan kemudian diminta pemerintah provinsi atau kepala daerah untuk memberikan rekomendasi mengenai WPR-nya ini. Kemudian WPR ini nanti akan dibina bagaimana mereka bisa melakukan pengelolaan pertambangan secara baik dan juga manajerial yang perlu dilengkapi," ujar Arifin.