Masyarakat adat di Kalteng belum diakui secara yuridis
Palangka Raya (ANTARA) - Anggota Tim Penasehat Senior Kepala Kantor Staff Presiden Republik Indonesia R Yando Zakaria menyatakan perpindahan Ibu Kota Pemerintahan Indonesia ke Kalimantan Tengah, dapat mempercepat tersingkirnya budaya dan masyarakat lokal yang ada di provinsi ini.
Pernyataan tersebut disampaikan Yando saat menjadi narasumber di seminar nasional 'Menyambut Ibu Kota Pemerintahan NKRI' yang dilaksanakan Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Kalteng di Palangka Raya, Sabtu.
"Jangankan ada Ibu Kota Pemerintahan Indonesia di Kalteng, tanpa itupun masyarakat adat sudah tersingkir secara fisik dan budaya. Apalagi kalau ada, arus penyingkiran itu 100 kali lebih cepat," tambahnya.
Ahli Antropologi itupun mengingatkan pemerintah pusat maupun daerah yang ada di Kalteng, perlu mewaspadai dan mengantisipasi agar kondisi tersebut tidak terjadi, ketika provinsi ini dipilih sebagai lokasi Ibu Kota Pemerintahan Indonesia. Apalagi sampai sekarang ini masyarakat adat di Kalteng belum ada diakui secara yuridis atau hukum formal negara.
Dia mengatakan peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini bukan untuk mengakui keberadaan masyarakat adat, melainkan upaya menyingkirkan. Hal itu disebabkan adanya kesalahan formulasi, asumsi ataupun konseptualisasi tentang siapa itu masyarakat.
"Aturan yang menyingkirkan keberadaan masyarakat adat ada di UU kehutanan maupun pertanahan. Bahkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 tahun 2012 menyatakan keberadaan masyarakat adat harus ditetapkan melalui peraturan daerah (perda)," beber Yando.
Baca juga: Raperda buka lahan dengan cara bakar dikonsultasikan ke kemendagri
Menurut dia, proses penetapan masyarakat adat melalui perda tidak mudah dan tidak murah. Untuk itu, harus diganti dengan sistem administrasi di mana verifikasinya tidak harus melalui proses-proses politik. Sebab, bila melalui proses politik di DPRD ataupun kepala daerah, jelas akan menghambat pengakuan terhadap masyarakat adat.
Penasehat Senior Kepala KSP itu mengatakan salah satu cara mengantisipasi agar masyarakat adat tidak tersingkir secara fisik maupun budaya, perlu diakui keberadaannya dan diberikan kepastian dalam penguasaan lahan. Melalui kepastian penguasaan lahan itulah eksistensi masyarakat adat di Kalteng untuk mengembangkan kehidupan dan budaya bisa terjadi.
"Paling utama itu perhatikan masyarakat adat kalau ingin menjadikan Kalteng sebagai Ibu Kota Pemerintahan Indonesia. Kalau itu tidak diperhatikan, maka proses penyingkiran masyarakat adat di Kalteng akan 100 kali lebih cepat," demikian Yando.
Seminar nasional me 'Menyambut Ibu Kota Pemerintahan NKRI' yang di laksanakan di Hotel Aquarius Kota Palangka Raya itu juga menghadirkan Gubernur Kalteng periode 2005-2015 Agustin Teras Narang, dan Deputi II Badan Restorasi Gambut RI Alue Dohong.
Baca juga: Legislator Kalteng minta pemprov tingkatkan dana bansos sarana ibadah
Baca juga: Legislator Kalteng dukung cetak sawah di Barsel ditambah 2.000 hektar
Pernyataan tersebut disampaikan Yando saat menjadi narasumber di seminar nasional 'Menyambut Ibu Kota Pemerintahan NKRI' yang dilaksanakan Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Kalteng di Palangka Raya, Sabtu.
"Jangankan ada Ibu Kota Pemerintahan Indonesia di Kalteng, tanpa itupun masyarakat adat sudah tersingkir secara fisik dan budaya. Apalagi kalau ada, arus penyingkiran itu 100 kali lebih cepat," tambahnya.
Ahli Antropologi itupun mengingatkan pemerintah pusat maupun daerah yang ada di Kalteng, perlu mewaspadai dan mengantisipasi agar kondisi tersebut tidak terjadi, ketika provinsi ini dipilih sebagai lokasi Ibu Kota Pemerintahan Indonesia. Apalagi sampai sekarang ini masyarakat adat di Kalteng belum ada diakui secara yuridis atau hukum formal negara.
Dia mengatakan peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini bukan untuk mengakui keberadaan masyarakat adat, melainkan upaya menyingkirkan. Hal itu disebabkan adanya kesalahan formulasi, asumsi ataupun konseptualisasi tentang siapa itu masyarakat.
"Aturan yang menyingkirkan keberadaan masyarakat adat ada di UU kehutanan maupun pertanahan. Bahkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 tahun 2012 menyatakan keberadaan masyarakat adat harus ditetapkan melalui peraturan daerah (perda)," beber Yando.
Baca juga: Raperda buka lahan dengan cara bakar dikonsultasikan ke kemendagri
Menurut dia, proses penetapan masyarakat adat melalui perda tidak mudah dan tidak murah. Untuk itu, harus diganti dengan sistem administrasi di mana verifikasinya tidak harus melalui proses-proses politik. Sebab, bila melalui proses politik di DPRD ataupun kepala daerah, jelas akan menghambat pengakuan terhadap masyarakat adat.
Penasehat Senior Kepala KSP itu mengatakan salah satu cara mengantisipasi agar masyarakat adat tidak tersingkir secara fisik maupun budaya, perlu diakui keberadaannya dan diberikan kepastian dalam penguasaan lahan. Melalui kepastian penguasaan lahan itulah eksistensi masyarakat adat di Kalteng untuk mengembangkan kehidupan dan budaya bisa terjadi.
"Paling utama itu perhatikan masyarakat adat kalau ingin menjadikan Kalteng sebagai Ibu Kota Pemerintahan Indonesia. Kalau itu tidak diperhatikan, maka proses penyingkiran masyarakat adat di Kalteng akan 100 kali lebih cepat," demikian Yando.
Seminar nasional me 'Menyambut Ibu Kota Pemerintahan NKRI' yang di laksanakan di Hotel Aquarius Kota Palangka Raya itu juga menghadirkan Gubernur Kalteng periode 2005-2015 Agustin Teras Narang, dan Deputi II Badan Restorasi Gambut RI Alue Dohong.
Baca juga: Legislator Kalteng minta pemprov tingkatkan dana bansos sarana ibadah
Baca juga: Legislator Kalteng dukung cetak sawah di Barsel ditambah 2.000 hektar