Program 'Food estate' rawan mengulangi kesalahan PLG sejuta hektare
Palangka Raya (ANTARA) - Direktur Yayasan Borneo Institute Yanedi Jagau menilai, rencana melaksanakan program food estate di Provinsi Kalimantan Tengah, rawan mengulangi kesalahan proyek sawah lahan gambut sejuta hektare yang juga dilaksanakan pemerintah pusat pada tahun 1995-1997 di wilayah ini.
Penilaian tersebut karena sampai saat ini pemerintah pusat bersama daerah di Kalteng belum ada menyampaikan kesimpulan maupun kajian serius terkait program 'food estate' tersebut, kata Yanedi di Palangka Raya, Senin.
"Kesimpulan dan kajian yang kami maksud itu mengenai dampak lingkungan, politik, sosial, ekonomi dan budaya dengan adanya program 'food estate' di Kalteng," beber dia.
Dikatakan, Yayasan Borneo Institute mengikuti secara serius dari awal hingga sekarang terkait rencana program 'food estate' di Kalteng. Hasil dari mengikuti tersebut, pihaknya prihatin karena aliran informasi resmi terkait program tersebut membingungkan, bahkan seringkali bertentangan dengan proyek strategis Pemerintah yang bertujuan mengubah sistem pertanian di Kalteng menjadi 'food estate', sehingga menjadi lumbung pangan nasional.
Yanedi mengatakan dalam pengumuman pertama yang disampaikan pemerintah pusat dan daerah, proyek tersebut diiklankan sebagai proyek darurat-mendesak karena berhubungan langsung dengan pandemi COVID-19 saat ini.
"Padahal, pada kenyataannya sekarang dipahami bahwa hal itu telah dibahas di 'rapat terbatas' kabinet, sehingga sudah banyak letters of intent dengan 'investor', bahkan sudah ditandatangani," beber dia.
Selain itu, lanjut dia, proyek 'food estate' pertama kali bulan April 2020 disebut sebagai 'Cetak Sawah', dan menekankan perlunya meningkatkan produksi beras, dan ukuran area yang akan dikonversi untuk produksi - kebanyakan di lahan gambut yang terdegradasi. Besaran Kawasan yang mau dikonversi jumlahnya sangat ambisius yaitu 900.000 hektare, tanpa secara terbuka menunjukkan area yang akan dipilih.
Baca juga: Wamenhan dan Wamen LHK kunjungi Kalteng
Kedua hal di atas segera menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian besar warga yang peduli di Kalteng dan masih memiliki ingatan jelas tentang 'Mega Rice Project (MRP)' atau lebih dikenal sebagai 'Proyek Sawah Lahan Gambut Sejuta Hektare (PLG). Di mana proyek yang berlangsung tahun 1997-1999 pada masa Orde Baru Presiden Suharto itu berakhir dengan gagal total, memunculkan sejuta bencana serta luka.
"Meninggalkan kerusakan finansial, sosial, dan lingkungan luar biasa parah serta biaya yang harus ditanggung oleh warga setempat, khususnya masyarakat adat Dayak," ucap Yanedi.
Sejarah sedang diulang di tengah gemuruh sorak-sorai antusias yang dipandu, diselingi oleh suara nurani dan akal sehat serta perbedaan pendapat dari masyarakat sipil. Di tengah situasi keuangan Indonesia sedang bergulat melewati krisis Kesehatan lantaran Pandemi COVID-19, pemerintah justru menyuguhkan suatu Proyek yang sangat berpotensi untuk membuka arena baru bagi korupsi dan pemborosan, sumber daya publik.
Yayasan Borneo Institute pun menyarankan perlunya ada tindakan pencegahan harus menjadi prioritas bagi administrator yang jujur, visioner, dan serius. Sayangnya, Pemerintah belum memberikan jaminan yang jelas bahwa semua kesalahan rencana Suharto tidak akan terulang lagi kali ini.
"Kami menyatakan keprihatinannya yang paling tinggi terhadap proyek 'food estate' ini dan menuntut agar otoritas terkait memberikan jaminan dan penjelasan mengenai ketentuan apa dan bagaimana yang mesti dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang ikut dalam bagian proyek ini," demikian Yanedi.
Baca juga: Cegah alih fungsi lahan pertanian di Kalteng
Baca juga: Gubernur jabarkan berbagai manfaat 'food estate' di Kalteng
Baca juga: Pemkab Pulang Pisau tambah 56.000 hektare lahan pengembangan 'Food Estate'
Penilaian tersebut karena sampai saat ini pemerintah pusat bersama daerah di Kalteng belum ada menyampaikan kesimpulan maupun kajian serius terkait program 'food estate' tersebut, kata Yanedi di Palangka Raya, Senin.
"Kesimpulan dan kajian yang kami maksud itu mengenai dampak lingkungan, politik, sosial, ekonomi dan budaya dengan adanya program 'food estate' di Kalteng," beber dia.
Dikatakan, Yayasan Borneo Institute mengikuti secara serius dari awal hingga sekarang terkait rencana program 'food estate' di Kalteng. Hasil dari mengikuti tersebut, pihaknya prihatin karena aliran informasi resmi terkait program tersebut membingungkan, bahkan seringkali bertentangan dengan proyek strategis Pemerintah yang bertujuan mengubah sistem pertanian di Kalteng menjadi 'food estate', sehingga menjadi lumbung pangan nasional.
Yanedi mengatakan dalam pengumuman pertama yang disampaikan pemerintah pusat dan daerah, proyek tersebut diiklankan sebagai proyek darurat-mendesak karena berhubungan langsung dengan pandemi COVID-19 saat ini.
"Padahal, pada kenyataannya sekarang dipahami bahwa hal itu telah dibahas di 'rapat terbatas' kabinet, sehingga sudah banyak letters of intent dengan 'investor', bahkan sudah ditandatangani," beber dia.
Selain itu, lanjut dia, proyek 'food estate' pertama kali bulan April 2020 disebut sebagai 'Cetak Sawah', dan menekankan perlunya meningkatkan produksi beras, dan ukuran area yang akan dikonversi untuk produksi - kebanyakan di lahan gambut yang terdegradasi. Besaran Kawasan yang mau dikonversi jumlahnya sangat ambisius yaitu 900.000 hektare, tanpa secara terbuka menunjukkan area yang akan dipilih.
Baca juga: Wamenhan dan Wamen LHK kunjungi Kalteng
Kedua hal di atas segera menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian besar warga yang peduli di Kalteng dan masih memiliki ingatan jelas tentang 'Mega Rice Project (MRP)' atau lebih dikenal sebagai 'Proyek Sawah Lahan Gambut Sejuta Hektare (PLG). Di mana proyek yang berlangsung tahun 1997-1999 pada masa Orde Baru Presiden Suharto itu berakhir dengan gagal total, memunculkan sejuta bencana serta luka.
"Meninggalkan kerusakan finansial, sosial, dan lingkungan luar biasa parah serta biaya yang harus ditanggung oleh warga setempat, khususnya masyarakat adat Dayak," ucap Yanedi.
Sejarah sedang diulang di tengah gemuruh sorak-sorai antusias yang dipandu, diselingi oleh suara nurani dan akal sehat serta perbedaan pendapat dari masyarakat sipil. Di tengah situasi keuangan Indonesia sedang bergulat melewati krisis Kesehatan lantaran Pandemi COVID-19, pemerintah justru menyuguhkan suatu Proyek yang sangat berpotensi untuk membuka arena baru bagi korupsi dan pemborosan, sumber daya publik.
Yayasan Borneo Institute pun menyarankan perlunya ada tindakan pencegahan harus menjadi prioritas bagi administrator yang jujur, visioner, dan serius. Sayangnya, Pemerintah belum memberikan jaminan yang jelas bahwa semua kesalahan rencana Suharto tidak akan terulang lagi kali ini.
"Kami menyatakan keprihatinannya yang paling tinggi terhadap proyek 'food estate' ini dan menuntut agar otoritas terkait memberikan jaminan dan penjelasan mengenai ketentuan apa dan bagaimana yang mesti dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang ikut dalam bagian proyek ini," demikian Yanedi.
Baca juga: Cegah alih fungsi lahan pertanian di Kalteng
Baca juga: Gubernur jabarkan berbagai manfaat 'food estate' di Kalteng
Baca juga: Pemkab Pulang Pisau tambah 56.000 hektare lahan pengembangan 'Food Estate'