Artikel - Ada Indonesia di Museum Anti-COVID di Wuhan
Wuhan (ANTARA) - Hujan rintik membasahi seluruh permukaan Kota Wuhan dalam tiga hari terakhir tanpa henti.
Walau begitu, kerumunan orang tetap bertahan di garis antrean. Sebagian berpayung, namun sebagian lagi membiarkan dirinya kehujanan.
Li Qiaoling, salah satu di antara orang-orang yang merelakan rambutnya terkena hujan berinaian pada Sabtu (21/11) sore itu.
Tanpa memedulikan orang-orang yang sedang mengantre di halaman Museum Anti-COVID itu, perempuan yang mengenakan winter coat warna khaki itu terhanyut dalam keasikan membuat vlog video.
Para pengantre memandang aneh ulah perempuan paruh baya itu. Wajar, mereka semua muskil karena dia menggunakan bahasa Indonesia dalam vlognya.
Perempuan berambut tergerai itu memang mengundang rasa penasaran, namun tak segera terobati karena situasinya yang tak mendukung. Antrean panjang di bawah rintik hujan itu membuat sulit menggapainya.
Kesempatan tidak datang dua kali, tampaknya motto ini tidak berlaku pada sore hari itu.
"Bapak dari Indonesia ya?" sergahnya setelah tahu ANTARA membuat vlog berbahasa Indonesia menjelang pintu keluar museum itu.
"Perkenalkan Pak, nama Indonesia saya Linda. Saya pernah belajar Bahasa Indonesia di UGM (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)," ucapnya seraya menyorongkan tangannya untuk bersalaman.
"Wah, saya sangat senang, akhirnya saya bisa bertemu orang Indonesia lagi," tutur Li yang sejak pandemi ini tidak lagi mendampingi turis China ke Indonesia atau wisatawan Indonesia berkunjung ke Wuhan.
Pertemuan singkat sore itu akhirnya menjawab rasa penasaran terhadap perempuan asal Provinsi Hubei yang tempat tinggalnya tidak jauh dari Museum Anti-COVID.
Sejenak tinggalkan Linda karena dia sibuk melanjutkan vlognya yang ditujukan untuk menarik minat wisatawan Indonesia agar mau datang lagi ke Wuhan seperti sedia kala.
Ada nama dari Indonesia yang tidak kalah tenarnya di antara koleksi museum itu. Dia adalah Prof Huang Xiqiu, arsitektur Rumah Sakit Huoshenshan, kelahiran Jember, Jawa Timur.
Rumah sakit besar yang bisa menampung ribuan pasien COVID-19 di Wuhan itu dibangun dalam tempo yang sangat singkat.
Ini prestasi tersendiri, apalagi pada masa-masa awal pandemi, juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Hua Chunying menyampaikan respeknya terhadap Indonesia atas keterlibatan Prof Huang.
Alat besar yang digunakan untuk membangun rumah sakit itu melengkapi diorama perjalanan singkat didirikannya Huoshensan di museum tersebut.
Museum yang baru dibuka untuk umum pada 15 Oktober 2020 itu juga memberikan penghargaan kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Di salah satu balai tidak jauh dari pintu keluar museum, nama Indonesia diabadikan.
Paket dari Indonesia yang dalam karakter Hanzi tertulis "Yinni" dapat dilihat para pengunjung museum di antara bantuan alat kesehatan dari beberapa negara lain.
Memang saat awal-awal COVID-19 melanda Wuhan, Indonesia memberikan bantuan tersebut. Tidak lama kemudian Presiden China Xi Jinping mengucapkan terima kasih melalui percakapan telepon dengan Presiden Joko Widodo atas dukungan dan bantuan dari masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Menguras Emosi
Beberapa meter dari pintu masuk, para pengunjung sudah disuguhi situasi yang sangat mencekam saat virus corona jenis baru itu menjelma menjadi monster mematikan bagi warga Wuhan.
Rintihan kesedihan dan tangisan menyayat hati serta hiruk-pikuk kepanikan di rumah sakit terekam dalam gambar audio-visual yang dipancarkan dari layar cekung berukuran lebar sukses menciptakan suasana dramatis di dalam ruang utama museum itu.
Disusul dengan rekaman gambar situasi kalut beberapa orang yang terjebak saat tiba-tiba bandara, stasiun kereta api, dan pintu masuk tol ditutup total, juga pengerahan pasukan militer untuk mendukung petugas kepolisian.
Orang-orang yang terkurung di dalam rumah dan hanya bisa melambaikan tangan dari balik jeruji jendela tidak luput dari sorotan.
Potret hitam-putih beberapa petugas garda terdepan COVID-19 di Wuhan, termasuk dr Li Wenliang yang dianggap sebagai pengungkap pertama wabah mirip SARS tersebut, dipajang dalam monumen kenangan di salah satu sudut museum itu.
Tragedi kemanusiaan yang puncaknya adalah penutupan akses secara total (lockdown) Wuhan pada 23 Januari 2020 itu menjadi daya tarik tersendiri sehingga tidak heran jika sejak dibuka sampai sekarang mendapatkan kunjungan 3.000 orang per hari.
China memang jago dalam membangun museum selain juga masyarakatnya yang memang gemar mendatangi museum.
Peristiwa apa saja bisa dinarasikan secara visual melalui ruang pamer yang formatnya seperti museum.
Gempa bumi di Provinsi Sichuan yang merenggut 87 ribu nyawa manusia pada 12 Mei 2008 juga telah dibuatkan museumnya.
Demikian halnya dengan tragedi kemanusiaan di Xinjiang juga ada museumnya yang secara resmi dibuka untuk umum pada Oktober 2018.
Konsepnya bukan saja untuk membawa ingatan para pengunjung atas peristiwa masa lalu, namun sekaligus memberikan pesan edukatif bagaimana masa lalu yang pernah terjadi tidak terulang atau bisa diatasi.
Sebagai bekas bangunan rumah sakit sementara selama puncak pandemi di Wuhan, museum tersebut mempertahankan ranjang-ranjang perawatan pasien COVID-19 menjadi koleksinya. Sebelum menjadi rumah sakit sementara, museum itu dulunya gedung pameran.
Museum Anti-COVID di Wuhan, juga menyuguhkan perkembangan teknologi medis dalam mitigasi bencana wabah yang dampaknya lebih dahsyat daripada peperangan di medan tempur.
Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan yang menjadi faktor penentu keberhasilan penanganan COVID-19 juga menjadi hal perhatian pengunjung museum itu.
Tentu saja, kepemimpinan Presiden Xi Jinping dan unsur terpenting Partai Komunis China (CPC) yang paling mendominasi museum itu karena dua faktor itulah yang dianggap paling berperan dalam penanganan COVID-19.
Pesan dan seruan Xi bertebaran di museum tersebut, baik dalam bentuk audio-visual maupun verbal yang diabadikan dalam tulisan dinding.
Diorama yang menggambarkan detik-detik krusial di ICU serta patung-patung petugas kesehatan seukuran manusia dengan berbagai tulisan penyemangat diri di baju hazmat juga menjadi penawar daya tarik tersendiri.
Sebelum meninggalkan museum, para pengunjung akan mendapati etalase yang di dalamnya berisi vaksin COVID-19 buatan sejumlah perusahaan farmasi asal China.
Demikian halnya potret kebahagiaan warga dan kembali bersinarnya lampu-lampu Kota Wuhan saat status lockdown Wuhan dicabut pada 8 April 2020 seolah mengingatkan bahwa apa pun bentuk penderitaan, pasti ada batas akhirnya.
"Saya tidak bisa mengungkapkan perasaan ini. Mengerikan, menakutkan, mengharukan, semuanya campur aduk," komentar Wang Tao, warga Wuhan yang baru pertama mengunjungi museum tersebut.
Walau begitu, kerumunan orang tetap bertahan di garis antrean. Sebagian berpayung, namun sebagian lagi membiarkan dirinya kehujanan.
Li Qiaoling, salah satu di antara orang-orang yang merelakan rambutnya terkena hujan berinaian pada Sabtu (21/11) sore itu.
Tanpa memedulikan orang-orang yang sedang mengantre di halaman Museum Anti-COVID itu, perempuan yang mengenakan winter coat warna khaki itu terhanyut dalam keasikan membuat vlog video.
Para pengantre memandang aneh ulah perempuan paruh baya itu. Wajar, mereka semua muskil karena dia menggunakan bahasa Indonesia dalam vlognya.
Perempuan berambut tergerai itu memang mengundang rasa penasaran, namun tak segera terobati karena situasinya yang tak mendukung. Antrean panjang di bawah rintik hujan itu membuat sulit menggapainya.
Kesempatan tidak datang dua kali, tampaknya motto ini tidak berlaku pada sore hari itu.
"Bapak dari Indonesia ya?" sergahnya setelah tahu ANTARA membuat vlog berbahasa Indonesia menjelang pintu keluar museum itu.
"Perkenalkan Pak, nama Indonesia saya Linda. Saya pernah belajar Bahasa Indonesia di UGM (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)," ucapnya seraya menyorongkan tangannya untuk bersalaman.
"Wah, saya sangat senang, akhirnya saya bisa bertemu orang Indonesia lagi," tutur Li yang sejak pandemi ini tidak lagi mendampingi turis China ke Indonesia atau wisatawan Indonesia berkunjung ke Wuhan.
Pertemuan singkat sore itu akhirnya menjawab rasa penasaran terhadap perempuan asal Provinsi Hubei yang tempat tinggalnya tidak jauh dari Museum Anti-COVID.
Sejenak tinggalkan Linda karena dia sibuk melanjutkan vlognya yang ditujukan untuk menarik minat wisatawan Indonesia agar mau datang lagi ke Wuhan seperti sedia kala.
Ada nama dari Indonesia yang tidak kalah tenarnya di antara koleksi museum itu. Dia adalah Prof Huang Xiqiu, arsitektur Rumah Sakit Huoshenshan, kelahiran Jember, Jawa Timur.
Rumah sakit besar yang bisa menampung ribuan pasien COVID-19 di Wuhan itu dibangun dalam tempo yang sangat singkat.
Ini prestasi tersendiri, apalagi pada masa-masa awal pandemi, juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Hua Chunying menyampaikan respeknya terhadap Indonesia atas keterlibatan Prof Huang.
Alat besar yang digunakan untuk membangun rumah sakit itu melengkapi diorama perjalanan singkat didirikannya Huoshensan di museum tersebut.
Museum yang baru dibuka untuk umum pada 15 Oktober 2020 itu juga memberikan penghargaan kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Di salah satu balai tidak jauh dari pintu keluar museum, nama Indonesia diabadikan.
Paket dari Indonesia yang dalam karakter Hanzi tertulis "Yinni" dapat dilihat para pengunjung museum di antara bantuan alat kesehatan dari beberapa negara lain.
Memang saat awal-awal COVID-19 melanda Wuhan, Indonesia memberikan bantuan tersebut. Tidak lama kemudian Presiden China Xi Jinping mengucapkan terima kasih melalui percakapan telepon dengan Presiden Joko Widodo atas dukungan dan bantuan dari masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Menguras Emosi
Beberapa meter dari pintu masuk, para pengunjung sudah disuguhi situasi yang sangat mencekam saat virus corona jenis baru itu menjelma menjadi monster mematikan bagi warga Wuhan.
Rintihan kesedihan dan tangisan menyayat hati serta hiruk-pikuk kepanikan di rumah sakit terekam dalam gambar audio-visual yang dipancarkan dari layar cekung berukuran lebar sukses menciptakan suasana dramatis di dalam ruang utama museum itu.
Disusul dengan rekaman gambar situasi kalut beberapa orang yang terjebak saat tiba-tiba bandara, stasiun kereta api, dan pintu masuk tol ditutup total, juga pengerahan pasukan militer untuk mendukung petugas kepolisian.
Orang-orang yang terkurung di dalam rumah dan hanya bisa melambaikan tangan dari balik jeruji jendela tidak luput dari sorotan.
Potret hitam-putih beberapa petugas garda terdepan COVID-19 di Wuhan, termasuk dr Li Wenliang yang dianggap sebagai pengungkap pertama wabah mirip SARS tersebut, dipajang dalam monumen kenangan di salah satu sudut museum itu.
Tragedi kemanusiaan yang puncaknya adalah penutupan akses secara total (lockdown) Wuhan pada 23 Januari 2020 itu menjadi daya tarik tersendiri sehingga tidak heran jika sejak dibuka sampai sekarang mendapatkan kunjungan 3.000 orang per hari.
China memang jago dalam membangun museum selain juga masyarakatnya yang memang gemar mendatangi museum.
Peristiwa apa saja bisa dinarasikan secara visual melalui ruang pamer yang formatnya seperti museum.
Gempa bumi di Provinsi Sichuan yang merenggut 87 ribu nyawa manusia pada 12 Mei 2008 juga telah dibuatkan museumnya.
Demikian halnya dengan tragedi kemanusiaan di Xinjiang juga ada museumnya yang secara resmi dibuka untuk umum pada Oktober 2018.
Konsepnya bukan saja untuk membawa ingatan para pengunjung atas peristiwa masa lalu, namun sekaligus memberikan pesan edukatif bagaimana masa lalu yang pernah terjadi tidak terulang atau bisa diatasi.
Sebagai bekas bangunan rumah sakit sementara selama puncak pandemi di Wuhan, museum tersebut mempertahankan ranjang-ranjang perawatan pasien COVID-19 menjadi koleksinya. Sebelum menjadi rumah sakit sementara, museum itu dulunya gedung pameran.
Museum Anti-COVID di Wuhan, juga menyuguhkan perkembangan teknologi medis dalam mitigasi bencana wabah yang dampaknya lebih dahsyat daripada peperangan di medan tempur.
Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan yang menjadi faktor penentu keberhasilan penanganan COVID-19 juga menjadi hal perhatian pengunjung museum itu.
Tentu saja, kepemimpinan Presiden Xi Jinping dan unsur terpenting Partai Komunis China (CPC) yang paling mendominasi museum itu karena dua faktor itulah yang dianggap paling berperan dalam penanganan COVID-19.
Pesan dan seruan Xi bertebaran di museum tersebut, baik dalam bentuk audio-visual maupun verbal yang diabadikan dalam tulisan dinding.
Diorama yang menggambarkan detik-detik krusial di ICU serta patung-patung petugas kesehatan seukuran manusia dengan berbagai tulisan penyemangat diri di baju hazmat juga menjadi penawar daya tarik tersendiri.
Sebelum meninggalkan museum, para pengunjung akan mendapati etalase yang di dalamnya berisi vaksin COVID-19 buatan sejumlah perusahaan farmasi asal China.
Demikian halnya potret kebahagiaan warga dan kembali bersinarnya lampu-lampu Kota Wuhan saat status lockdown Wuhan dicabut pada 8 April 2020 seolah mengingatkan bahwa apa pun bentuk penderitaan, pasti ada batas akhirnya.
"Saya tidak bisa mengungkapkan perasaan ini. Mengerikan, menakutkan, mengharukan, semuanya campur aduk," komentar Wang Tao, warga Wuhan yang baru pertama mengunjungi museum tersebut.