Kenaikan cukai rokok berdampak pada sektor ritel dan UKM
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (Akrindo) menyatakan kebijakan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok dapat berdampak pada sektor ritel, koperasi, dan UMKM maupun pedagang eceran.
Wakil Ketua Umum DPP Akrindo Anang Zunaedi di Jakarta, Jumat, mengatakan selama ini distribusi rokok di Indonesia mayoritas dilakukan melalui jaringan ritel dan UMKM tradisional.
"Saat ini ritel koperasi dan UMKM Indonesia yang tengah berjuang sekuat tenaga akibat penurunan omset rata-rata 50- 60 selama pandemi justru akan kembali terpukul dengan rencana kenaikan pita cukai rokok," katanya.
Rokok adalah produk yang berkontribusi besar kepada pendapatan koperasi, UMKM, serta pedagang eceran, tambahnya, naiknya cukai dan harga rokok akan mempengaruhi modal usaha dan pendapatan pelaku ritel koperasi dan UMKM.
"Harga rokok yang makin tinggi sejalan dengan kenaikan cukai, tidak hanya melemahkan daya beli konsumen namun turut mempengaruhi daya jual pedagang," katanya.
Menurut dia, produk rokok dibeli pedagang dengan uang tunai, bila terjadi kenaikan harga rokok, dampaknya akan mempersulit pedagang mengelola keuangan.
"Pedagang harus menyiapkan dana ekstra untuk kulakan. Bukan hanya konsumen yang kesulitan, pedagang dan peritel akan mengalami penurunan daya jual," katanya dalam webinar "Konsumen dan Pedagang Mencari Solusi Bila Harga Rokok Meninggi"
Dia menambahkan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang digerakkan pemerintah tidak turut mencakup pemulihan bagi ritel koperasi dan UMKM.
"Yang perlu dilakukan pemerintah adalah membuat program strategis sebagai pemulihan ritel koperasi dan UMKM yang sudah berjuang selama pandemi. Bukan semakin menyulitkan dengan kenaikan cukai," ujar Anang.
Sementara itu Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menilai pemerintah perlu Llbih bijaksana terhadap dampak kebijakan menaikkan tarif cukai dan harga rokok di tengah pandemi ketika kondisi daya beli masyarakat yang masih melemah.
Menurut dia, hal itu tentu memukul industri hasil tembakau (IHT) mulai dari petani, pabrikan hingga di hilir seperti pedagang ritel dan konsumen.
"Dalam satu rokok, ada kerja keras petani tembakau, petani cengkeh, buruh, pekerja kreatif, dan lainnya. Dampak kenaikan cukai akan dirasakan oleh mata rantai IHT," ujarnya.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK)Muhammad Azami menambahkan dengan kebijakan cukai yang eksesif, tidak sedikit pabrikan yang mengurangi tenaga kerja, selain itu industri kreatif seperti periklanan, transportasi dan lainnya juga sudah terdampak.
"Di hilir, ada UMKM, ritel tradisional, modern, yang biasanya mendapat profit paling besar dari rokok. Ini kebijakan kontradiktif, tidak memperhatikan kondisi riil di lapangan," katanya.
Perwakilan Masyarakat Konsumen Tembakau (Maskot) Endro Guntoro menyebutkan kekuatan produk rokok adalah konsumen. Naiknya harga cukai, dibayar oleh konsumen yang membeli rokok.
"Kalau konsumen disulitkan karena harga dinaikkan maka ini akan mematikan industri dan pedagang kecil," katanya.
Wakil Ketua Umum DPP Akrindo Anang Zunaedi di Jakarta, Jumat, mengatakan selama ini distribusi rokok di Indonesia mayoritas dilakukan melalui jaringan ritel dan UMKM tradisional.
"Saat ini ritel koperasi dan UMKM Indonesia yang tengah berjuang sekuat tenaga akibat penurunan omset rata-rata 50- 60 selama pandemi justru akan kembali terpukul dengan rencana kenaikan pita cukai rokok," katanya.
Rokok adalah produk yang berkontribusi besar kepada pendapatan koperasi, UMKM, serta pedagang eceran, tambahnya, naiknya cukai dan harga rokok akan mempengaruhi modal usaha dan pendapatan pelaku ritel koperasi dan UMKM.
"Harga rokok yang makin tinggi sejalan dengan kenaikan cukai, tidak hanya melemahkan daya beli konsumen namun turut mempengaruhi daya jual pedagang," katanya.
Menurut dia, produk rokok dibeli pedagang dengan uang tunai, bila terjadi kenaikan harga rokok, dampaknya akan mempersulit pedagang mengelola keuangan.
"Pedagang harus menyiapkan dana ekstra untuk kulakan. Bukan hanya konsumen yang kesulitan, pedagang dan peritel akan mengalami penurunan daya jual," katanya dalam webinar "Konsumen dan Pedagang Mencari Solusi Bila Harga Rokok Meninggi"
Dia menambahkan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang digerakkan pemerintah tidak turut mencakup pemulihan bagi ritel koperasi dan UMKM.
"Yang perlu dilakukan pemerintah adalah membuat program strategis sebagai pemulihan ritel koperasi dan UMKM yang sudah berjuang selama pandemi. Bukan semakin menyulitkan dengan kenaikan cukai," ujar Anang.
Sementara itu Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menilai pemerintah perlu Llbih bijaksana terhadap dampak kebijakan menaikkan tarif cukai dan harga rokok di tengah pandemi ketika kondisi daya beli masyarakat yang masih melemah.
Menurut dia, hal itu tentu memukul industri hasil tembakau (IHT) mulai dari petani, pabrikan hingga di hilir seperti pedagang ritel dan konsumen.
"Dalam satu rokok, ada kerja keras petani tembakau, petani cengkeh, buruh, pekerja kreatif, dan lainnya. Dampak kenaikan cukai akan dirasakan oleh mata rantai IHT," ujarnya.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK)Muhammad Azami menambahkan dengan kebijakan cukai yang eksesif, tidak sedikit pabrikan yang mengurangi tenaga kerja, selain itu industri kreatif seperti periklanan, transportasi dan lainnya juga sudah terdampak.
"Di hilir, ada UMKM, ritel tradisional, modern, yang biasanya mendapat profit paling besar dari rokok. Ini kebijakan kontradiktif, tidak memperhatikan kondisi riil di lapangan," katanya.
Perwakilan Masyarakat Konsumen Tembakau (Maskot) Endro Guntoro menyebutkan kekuatan produk rokok adalah konsumen. Naiknya harga cukai, dibayar oleh konsumen yang membeli rokok.
"Kalau konsumen disulitkan karena harga dinaikkan maka ini akan mematikan industri dan pedagang kecil," katanya.