DLH-BNF dorong percepatan pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Kalteng
Palangka Raya (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, bersama Borneo Nature Foundation (BNF) Indonesia, berupaya mendorong percepatan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah setempat.
"Dorongan ini dilakukan melalui sosialisasi Tata Cara Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Pulang Pisau yang juga tertulis dalam buku pedoman," kata Kepala Seksi Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah Wilson melalui pernyataan yang diterima di Palangka Raya, Selasa.
Dia menambahkan dengan sosialisasi tersebut diharapkan para peserta dapat memahami tata cara membentuk Masyarakat Hukum Adat agar nantinya mendapatkan legalitas hutan adat.
"Sosialisasi buku tata cara pengakuan masyarakat adat kami laksanakan karena tidak semua kabupaten atau kota telah menerbitkan keputusan kepala daerah terkait pengakuan MHA. Di dalam buku pedoman ini terdapat petunjuk pelaksanaan bagi masyarakat adat," katanya.
Dia menambahkan, untuk mendapatkan legalitas hutan adat, masyarakat adat perlu membentuk MHA terlebih dahulu. Setelah MHA terbentuk, masyarakat adat melalui MHA dapat mengusulkan legalitas hutan adat.
"Semua elemen masyarakat yang ada di Kalimantan Tengah dapat membentuk MHA melalui koordinasi dengan damang dan mantir adat untuk memfasilitasi mereka di wilayah masing-masing," kata Wilson.
Sementara itu Sekda Kabupaten Pulang Pisau Tony Harisinta mengatakan bahwa MHA dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Diantara isinya Masyarakat Hukum Adat adalah warga negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal-usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun-temurun.
Selain itu, lanjut dia Pemprov Kalteng juga telah menerbitkan Pergub 13 tahun 2019 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Atas Tanah serta Peraturan Daerah Tentang Kelembagaan Adat Tingkat Kabupaten.
"Terkait hal tersebut, Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah telah menerbitkan kebijakan terkait pengakuan hak masyarakat, yakni Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah," katanya.
Ketua Yayasan Borneo Nature Indonesia Juliarta Bramansa Ottay menuturkan bahwa pedoman tata cara pengakuan masyarakat hukum adat ini merupakan produk dari Pemprov Kalteng. BNF diminta untuk membantu menyelesaikan menjadi sebuah dokumen dan mendukung kegiatan sosialisasinya.
"Alasan kami juga ikut dalam proses ini karena BNF mempunyai program di Mungku Baru, masyarakat di sana ingin menjadikan hutan ulin menjadi hutan adat. Oleh karena itu, kami sepakat untuk membantu menyelesaikannya menjadi dokumen," katanya.
Di luar dari itu, lanjut Arta, ada potensi kerjasama dengan masyarakat adat dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan. Sudah terbukti di banyak tempat bahawa masyarakat adat memiliki peran penting dalam merawat hutan-hutan yang masih ada.
"Di samping itu, kejelasan prosedur dan legalitas dalam pengakuan hukum adat akan dapat mengurangi potensi konflik lahan di provinsi ini," katanya.
"Dorongan ini dilakukan melalui sosialisasi Tata Cara Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Pulang Pisau yang juga tertulis dalam buku pedoman," kata Kepala Seksi Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah Wilson melalui pernyataan yang diterima di Palangka Raya, Selasa.
Dia menambahkan dengan sosialisasi tersebut diharapkan para peserta dapat memahami tata cara membentuk Masyarakat Hukum Adat agar nantinya mendapatkan legalitas hutan adat.
"Sosialisasi buku tata cara pengakuan masyarakat adat kami laksanakan karena tidak semua kabupaten atau kota telah menerbitkan keputusan kepala daerah terkait pengakuan MHA. Di dalam buku pedoman ini terdapat petunjuk pelaksanaan bagi masyarakat adat," katanya.
Dia menambahkan, untuk mendapatkan legalitas hutan adat, masyarakat adat perlu membentuk MHA terlebih dahulu. Setelah MHA terbentuk, masyarakat adat melalui MHA dapat mengusulkan legalitas hutan adat.
"Semua elemen masyarakat yang ada di Kalimantan Tengah dapat membentuk MHA melalui koordinasi dengan damang dan mantir adat untuk memfasilitasi mereka di wilayah masing-masing," kata Wilson.
Sementara itu Sekda Kabupaten Pulang Pisau Tony Harisinta mengatakan bahwa MHA dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Diantara isinya Masyarakat Hukum Adat adalah warga negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal-usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun-temurun.
Selain itu, lanjut dia Pemprov Kalteng juga telah menerbitkan Pergub 13 tahun 2019 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Atas Tanah serta Peraturan Daerah Tentang Kelembagaan Adat Tingkat Kabupaten.
"Terkait hal tersebut, Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah telah menerbitkan kebijakan terkait pengakuan hak masyarakat, yakni Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah," katanya.
Ketua Yayasan Borneo Nature Indonesia Juliarta Bramansa Ottay menuturkan bahwa pedoman tata cara pengakuan masyarakat hukum adat ini merupakan produk dari Pemprov Kalteng. BNF diminta untuk membantu menyelesaikan menjadi sebuah dokumen dan mendukung kegiatan sosialisasinya.
"Alasan kami juga ikut dalam proses ini karena BNF mempunyai program di Mungku Baru, masyarakat di sana ingin menjadikan hutan ulin menjadi hutan adat. Oleh karena itu, kami sepakat untuk membantu menyelesaikannya menjadi dokumen," katanya.
Di luar dari itu, lanjut Arta, ada potensi kerjasama dengan masyarakat adat dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan. Sudah terbukti di banyak tempat bahawa masyarakat adat memiliki peran penting dalam merawat hutan-hutan yang masih ada.
"Di samping itu, kejelasan prosedur dan legalitas dalam pengakuan hukum adat akan dapat mengurangi potensi konflik lahan di provinsi ini," katanya.