Guru Besar Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (SF-ITB) Prof. Dr. rer. nat. Rahmana Emran Kartasasmita, M.Si, dalam keterangan resmi, Selasa, mengatakan tembakau yang dipanaskan seharusnya memiliki lebih sedikit komponen zat berbahaya.
SF-ITB telah melakukan kajian literatur ilmiah yang berjudul "Kajian Risiko (Risk Assessment) Produk Tobacco Heated System (THS) Berdasarkan Data dan Kajian Literatur" pada 2022. Kajian literatur ilmiah tersebut bertujuan menghitung perkiraan tingkat risiko produk tembakau yang dipanaskan.
"Tujuan dari kajian ini adalah untuk mencari data kualitatif dan kuantitatif terkait berbagai senyawa dalam produk tembakau yang dipanaskan dan rokok sebagai pembanding, serta penggolongan karsinogenitasnya dengan merujuk pada IARC (The International Agency for Research on Cancer atau Badan Internasional untuk Penelitian Kanker)," kata Emran yang sekaligus anggota peneliti kajian ilmiah literatur tersebut.
Hasil kajian tersebut menunjukkan produk tembakau yang dipanaskan memiliki profil risiko yang lebih rendah daripada rokok. Walaupun tidak sepenuhnya bebas risiko, paparan zat berbahaya dan berpotensi berbahaya pada produk ini juga lebih rendah.
Emran menekankan pentingnya riset yang komprehensif terhadap produk tembakau alternatif untuk mengurangi misinformasi yang beredar saat ini di masyarakat dan memperkaya teks akademik supaya bermanfaat untuk pengambil kebijakan dan peneliti lain.
Baca juga: Risiko tembakau alternatif lebih rendah dari rokok?
Penelitian tentang vape juga dilakukan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran bertajuk “Respons Gusi Pada Pengguna Vape Saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitas Experimental)", oleh Dr. Amaliya, drg., Ph.D, Dr. drg. Agus Susanto, M.Kes., Sp.Perio. (K), dan drg. Jimmy Gunawan, Sp.Perio.
Amaliya menjelaskan penelitian klinis itu bertujuan untuk mengetahui sejauh mana produk tembakau alternatif berdampak bagi pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi pada pengguna rokok elektrik dibandingkan dengan gusi pada perokok aktif. Penelitian itu dilakukan mengingat produk tembakau alternatif, seperti salah satunya rokok elektrik, diklaim memiliki risiko lebih rendah daripada rokok.
“Penelitian ini bertujuan untuk mengamati respons gusi pada pengguna rokok elektrik dibandingkan perokok aktif dan bukan perokok,” kata Amaliya.
Penelitian ini melibatkan responden dewasa yang dibagi ke dalam tiga kelompok dengan distribusi gender tidak merata.
Kelompok pertama adalah perokok aktif dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun. Kelompok kedua adalah pengguna rokok elektrik yang telah beralih dari rokok dengan masa penggunaan minimal satu tahun. Kelompok terakhir adalah non-perokok atau bukan pengguna produk tembakau yang akan dijadikan sebagai acuan untuk hasil penelitian.
Hasil penelitian itu menunjukkan pengguna produk tembakau alternatif yang telah berhenti dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang sama seperti yang dialami oleh non-perokok.
Baca juga: Benarkah vape lebih aman dibanding rokok konvensional?
Baca juga: Polisi tangkap produsen rokok elektrik mengandung sabu
Baca juga: Rokok elektrik tak sebabkan gangguan pertahanan gusi?