Palangka Raya (ANTARA) - Tindakan penyitaan dan penyegelan terhadap lahan sawit yang dinilai illegal oleh Satuan Tugas (Satgas) Garuda Penertiban Kawasan Hutan, dinilai berpotensi cacat hukum dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Penilaian itu karena penyitaannya tidak didasarkan pada prosedur pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang (UU) Kehutanan, kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof Dr I Gde Pantja Astawa SH MH melalui rilis diterima di Palangka Raya, Selasa.
"Penting dipahami pengertian kawasan hutan secara hukum. Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 9 Februari 2012, menyatakan penunjukan kawasan hutan tidak dapat disamakan dengan pengukuhan kawasan hutan," ucapnya.
Menurut pria yang akrab disapa Prof Pantja itu, penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan, tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan, sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemeritahan otoriter.
Dia mengatakan, tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai harkat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan. Apalagi adanya putusan MK yang menyatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan harus melewati empat tahapan sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UU Kehutanan
"Keempat tahapan itu dimulai dari penunjukan kawasan hutan, penetapan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan secara resmi," beber dia.
Untuk itu, dirinya pun mempertanyakan bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Putusan MK tersebut, apakah penyitaan dan penyegelan 1 juta hektare kebun sawit di kawasan yang diklaim sebagai kawasan hukum, sebelumnya sudah ada pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan melalui empat tahap yang diperintahkan oleh Pasal 15 UU Kehutanan.
Prof Pantja mengatakan, jika suatu kawasan belum dikukuhkan sebagai kawasan hutan melalui empat tahap yang diperintahkan oleh Pasal 15 UU Kehutanan, maka tindakan penyitaan dan penyegelan adalah tindakan tidak fair. Sebab tindakan tersebut tidak berdasar atas hukum, yakni UU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 2021 dan PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
"Ditambah lagi baik UU Cipta Kerja maupun PP No.24 Tahun 2021 dan PP No. 43 Tahun 2021 tersebut sama sekali tidak ada klausul penyitaan dan penyegelan," ujarnya.
Akademisi Universitas Padjajaran itu juga menjelaskan bahwa Satgas Penertiban Kawasan Hukum yang dibentuk oleh Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, hanya memiliki tugas yang dalam hukum administrasi negara disebut "bestuursdwang" (paksaan pemerintahan) dan "dwangsom" (pengenaan denda administratif).
Di mana tugas "bestuursdwang" dilakukan dalam bentuk penertiban terhadap perseorangan ataupun badan hukum perdata yang melanggar norma hukum administrasi seperti tidak memiliki izin usaha pertambangan, perkebunan, dan lain-lainnya.
"Adapun tugas "dwangsom" yaitu, pengenaan denda administratif. Sedangkan tindakan penyitaan dan penyegelan merupakan tindakan politional pro justisia dalam rangka law enforcement (penyelidikan dan penyidikan dalam kasus / perkara pidana)," beber dia.
Baca juga: Pemerintah sita ribuan hektare lahan sawit di Kotawaringin Timur
Menurut dia, tindakan penyitaan dan penyegelan yang dilakukan oleh Satgas berdasarkan Perpres No. 5 Tahun 2024, bertentangan dengan UU Cipta Kerja dan 2 PP, yang secara hierarkis kedudukan kedua peraturan perundang-undangan tersebut lebih tinggi daripada Perpres No. 5 Tahun 2025 tersebut.
Dia mengatakan, tindakan Satgas tersebut dinilainya batal demi hukum atau dapat dibatalkan melalui gugatan Sengketa TUN atau Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Sengketa Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh badan dan/Pejabat Pemerintah (Onrechmatige Overheidsdaad) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah selain menimbulkan ketidakpastian hukum, juga berdampak serius terhadap investor yang ingin menanamkan investasinya di Indonesia," kata Prof Pantja.
Ditambah lagi, langkah pemerintah tersebut juga mereduksi peranan industri kelapa sawit yang telah memberikan andil sangat besar bagi pembangunan ekonomi melalui efek berlipat ganda (multiplier effect) berupa pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan negara.
Baca juga: DPRD Kalteng soroti konsistensi dan transparansi penertiban perkebunan kelapa sawit
Baca juga: Bupati sebut perkebunan kelapa sawit berdampak positif bagi perekonomian Kobar
Baca juga: DPRD Kapuas dukung penuh perkembangan investasi sawit