Siang itu,
Agus, bukan nama sebenarnya, duduk termenung. Tatapan matanya kosong
menerawang menembus jendela kantornya. Beberapa kali terlihat dia
menghela napas, lalu kembali tenggelam dalam lamunannya. Teringat di
benaknya suppliernya yang kabur beberapa bulan lalu, menyisakan cicilan
yang harus dilunasinya hingga beberapa bulan.
Alangkah
terkejutnya Agus ketika pagi itu dia menerima secarik surat dari Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat perusahaannya terdaftar. Setelah
berkonsultasi dengan Account Representative-nya, Agus mendapatkan
penjelasan yang mencengangkan: suppliernya ternyata penerbit faktur
pajak fiktif, dan telah dihukum pidana!
Surat tersebut menyatakan bahwa pengkreditan pajak masukan yang telah dilakukannya dengan faktur pajak yang
diterbitkan oleh suppliernya tidak dapat dibenarkan. Selain harus
mengembalikan uang Negara yang terlanjur direstitusikan, Agus juga
diwajibkan membayar denda 100% dari nilai pajaknya.
Artinya,
Agus menanggung dua kerugian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah
dipungut oleh suppliernya dinyatakan tidak sah, sehingga dia harus
menyetor ulang PPN, serta jumlah denda yang mencapai 100%. Hal inilah
yang membuatnya dia resah siang itu.
PPN pada
dasarnya dikenakan pada setiap proses produksi Barang Kena Pajak (BKP)
maupun Jasa Kena Pajak (JKP), mulai pembelian bahan baku hingga
penjualan. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN
dibebankan pada penjual yang disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Penjual menerbitkan faktur pajak, disebut sebagai Pajak Keluaran (PK),
dan dikreditkan oleh pembeli sebagai Pajak Masukan (PM).
PKP
akan menyetorkan PPN dari PK-nya sekaligus merestitusikan PM-nya.
Dengan mekanisme ini, pajak yang dipungut oleh Negara adalah sebesar PK
dikurangi PM. Dalam Undang-Undang Nomor 42/2009 tentang PPN, pada pasal 16F dinyatakan
bahwa pembeli BKP dan penerima JKP bertanggung jawab secara renteng
atas pembayaran pajak jika tidak bisa menunjukkan bukti pajak telah
dibayar. Dengan adanya tanggung jawab renteng ini, penerbit maupun
pengguna faktur pajak harus berhati-hati dalam setiap transaksinya.
Tindak pidana perpajakan
dalam penerbitan faktur pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pasal 39A,
terkait penerbitan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya atau penerbitan faktur pajak oleh pihak yang belum dikukuhkan
sebagai PKP. Pada kasus di atas, supplier dinyatakan bersalah karena
menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya, sedangkan perusahaan milik Agus dinyatakan bersalah karena
menggunakan faktur pajak tersebut dalam pengkreditan PM-nya. Inilah yang
dimaksud dengan mekanisme tanggung renteng sebagaimana diatur dalam UU
PPN.
Situasi di atas terjadi, ketika semua
perusahaan dapat dengan mudahnya menerbitkan faktur pajak. Sering
ditemui faktur pajak tidak hanya diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP), namun juga diterbitkan oleh Wajib Pajak yang non PKP. Bahkan ada
kasus dimana perusahaan atau individu yang belum terdaftar (belum
ber-NPWP) turut menerbitkan faktur pajak. Faktur pajak yang diterbitkan
oleh non-PKP atau bahwa non-Wajib Pajak, inilah yang dinamakan faktur pajak fiktif.
Selain
itu, meski diterbitkan oleh PKP, namun jika transaksi yang tercantum
dalam faktur pajak tersebut adalah bukan transaksi yang sebenarnya,
faktur pajak juga dilabeli sebagai fiktif. Sebagai contoh, toko pakaian
menerbitkan faktur pajak atas transaksi penjualan bahan bangunan, yang
mana tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya.
Akibat
penerbitan faktur pajak fiktif, tidak hanya Negara yang dirugikan
akibat restitusi pajak, namun juga banyak “Agus†lain, sebagai pengguna
faktur pajak, yang turut terkena dampaknya. Sebagai contoh, salah satu
kasus faktur fiktif yang diungkap oleh Kantor Wilayah (Kanwil)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Timur, mengakibatkan negara
dirugikan sedikitnya Rp 7 miliar (Kompas, 9 November 2012). Dengan
kerugian sebesar itu, dapat dipastikan para pengguna faktur pajak harus
mengganti kerugian Negara sebesar 2 (dua) kali lipatnya (PPN + denda
100%).
Mengatasi hal tersebut, DJP telah melakukan beberapa pembenahan terkait
sistem administrasi PPN. Upaya pertama yang dilakukan DJP adalah
penertiban terhadap PKP. Pada tahun 2012 lalu, seluruh KPP diharuskan
melakukan pendaftaran ulang PKP dan melakukan verifikasi alamat PKP langsung ke lapangan.
Apabila
ternyata PKP tersebut tidak ditemukan di alamatnya, atau PKP tersebut
sudah tidak melakukan kegiatan usaha, maka status PKPnya langsung
dicabut, dan diumumkan melalui
Situs Pajak (www.pajak.go.id). Pengumuman ini dimaksudkan agar PKP
lainnya tidak bertransaksi dengan menerbitkan faktur pajak kepada PKP
yang sudah dicabut ijinnya.
Kegiatan tersebut
membuahkan hasil berupa pencabutan status PKP terhadap lebih dari 300
ribu Wajib Pajak. Upaya ini berhasil meningkatkan penerimaan negara dari
sektor PPN di tahun 2012, dari target sebesar Rp 336,1 triliun (APBN-P
2012) terealisasikan sebesar Rp 337,6 triliun. Selain membenahi data
PKP, faktur pajakpun dibenahi dan diatur ulang tatacara penomorannya. Terhitung mulai 1 April 2013, penomoran faktur pajak dilakukan secara sentralisasi oleh DJP melalui KPP dimana PKP terdaftar.
Agar
dapat dipastikan hanya PKP patuh yang akan memperoleh nomor seri faktur
pajak, DJP mensyaratkan agar sebelum memperoleh nomor seri faktur
pajak, PKP diharuskan mengajukan permohonan kode aktivasi dan password
untuk memperoleh nomor seri faktur pajak.
Kode
aktivasi hanya sekali saja digunakan, yakni pada saat mengaktifkan akun,
sedangkan password akan digunakan setiap kali pengambilan nomor seri
faktur pajak. PKP yang diperbolehkan mengajukan permohonan kode aktivasi
dan password, hanyalah PKP yang telah melaporkan SPT Masa PPN
untuk tiga masa terakhir. Kode aktivasi akan dikirimkan ke alamat PKP
sesuai dengan alamat yang ada di database kantor pajak, sedangkan
password akan dikirim melalui email PKP bersangkutan.
Dengan cara tersebut, dipastikan hanya PKP patuh yang jelas keberadaanya akan memperoleh nomor seri faktur pajak yang
bersifat unik. Nomor yang dikeluarkan oleh KPP juga bersifat acak, dan
tidak perlu digunakan secara berurutan. Hal ini akan mempermudah
identifikasi faktur pajak fiktif yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang
tidak berhak menerbitkannya.
Hal teknis terkait dengan penomoran faktur pajak yang baru ini dapat dilihat pada PER-24/PJ/2012 dan pembetulannya pada PER-08/PJ/2013. Terhitung mulai 1 Juni 2013, seluruh PKP diharapkan sudah melakukan penomoran faktur pajak sesuai ketentuan terbaru tersebut.