Korban kekerasan seksual di Yayasan SPI berhak ajukan hak restitusi
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan korban kekerasan seksual yang terjadi di Yayasan Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Batu, Malang, Jawa Timur berhak mengajukan hak restitusi kepada pelaku.
"LPSK sudah melakukan perhitungan atas kerugian yang diderita korban atas tindak pidana yang dideritanya," kata Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Sebagaimana diketahui, JE terdakwa sekaligus pemilik Yayasan Sekolah SPI hingga kini masih menghirup udara bebas. Padahal, proses hukum JE sudah memasuki tahap persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi.
Baca juga: Kasus mencuat, Institusi pendidikan harus punya pedoman cegah kekerasan seksual
LPSK memandang para korban kejahatan JE, yakni SDS (22) dan JH (21) berhak mengajukan hak restitusi kepada pelaku. Selain itu, terdakwa dinilainya juga harus mendapatkan hukuman yang maksimal.
Apalagi, salah satu korban saat kejadian masih berusia anak.
"Pelaku adalah tenaga pendidik atau orang yang diberi posisi sebagai pengasuh. Jadi, pantas diberi pemberatan hukuman," kata Antonius.
Baca juga: Masyarakat Kalteng diminta tak takut melapor adanya kekerasan seksual
Ia menyebutkan restitusi yang diajukan sekitar Rp60 juta. Jumlah itu berdasarkan perhitungan LPSK. Antonius berharap majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut juga mencabut izin sekolah yang bersangkutan, namun tetap menjamin keberlangsungan pendidikan para siswa.
Ia menerangkan kasus kekerasan seksual di Yayasan Sekolah SPI, berlatar belakang relasi kuasa, mengingat pelaku merupakan pemilik yayasan. Modus pelaku melakukan rekrutmen tenaga kerja dengan mencari calon pelamar dari para siswa/siswi sekolah.
Baca juga: Hukuman kekerasan seksual harus utamakan keadilan
"Pelaku memanfaatkan kepercayaan korban dan kekuasaannya atas korban untuk melakukan perkosaan dan pencabulan," ujarnya pula.
LPSK mengkhawatirkan pelaku yang hingga kini tak kunjung ditahan menggunakan kekuatannya melakukan serangkaian intimidasi kepada korban.
Dia mengingatkan pihak-pihak yang mencoba menghalangi proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual dapat dipidana penjara maksimal lima tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Baca juga: Yang harus dilakukan saat menolong korban kekerasan seksual
Baca juga: Pelaku kekerasan seksual di Banjarmasin divonis kebiri kimia
Baca juga: Dugaan kasus kekerasan seksual, Kemenag cabut izin Pesantren Shiddiqiyyah Jombang
"LPSK sudah melakukan perhitungan atas kerugian yang diderita korban atas tindak pidana yang dideritanya," kata Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Sebagaimana diketahui, JE terdakwa sekaligus pemilik Yayasan Sekolah SPI hingga kini masih menghirup udara bebas. Padahal, proses hukum JE sudah memasuki tahap persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi.
Baca juga: Kasus mencuat, Institusi pendidikan harus punya pedoman cegah kekerasan seksual
LPSK memandang para korban kejahatan JE, yakni SDS (22) dan JH (21) berhak mengajukan hak restitusi kepada pelaku. Selain itu, terdakwa dinilainya juga harus mendapatkan hukuman yang maksimal.
Apalagi, salah satu korban saat kejadian masih berusia anak.
"Pelaku adalah tenaga pendidik atau orang yang diberi posisi sebagai pengasuh. Jadi, pantas diberi pemberatan hukuman," kata Antonius.
Baca juga: Masyarakat Kalteng diminta tak takut melapor adanya kekerasan seksual
Ia menyebutkan restitusi yang diajukan sekitar Rp60 juta. Jumlah itu berdasarkan perhitungan LPSK. Antonius berharap majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut juga mencabut izin sekolah yang bersangkutan, namun tetap menjamin keberlangsungan pendidikan para siswa.
Ia menerangkan kasus kekerasan seksual di Yayasan Sekolah SPI, berlatar belakang relasi kuasa, mengingat pelaku merupakan pemilik yayasan. Modus pelaku melakukan rekrutmen tenaga kerja dengan mencari calon pelamar dari para siswa/siswi sekolah.
Baca juga: Hukuman kekerasan seksual harus utamakan keadilan
"Pelaku memanfaatkan kepercayaan korban dan kekuasaannya atas korban untuk melakukan perkosaan dan pencabulan," ujarnya pula.
LPSK mengkhawatirkan pelaku yang hingga kini tak kunjung ditahan menggunakan kekuatannya melakukan serangkaian intimidasi kepada korban.
Dia mengingatkan pihak-pihak yang mencoba menghalangi proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual dapat dipidana penjara maksimal lima tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Baca juga: Yang harus dilakukan saat menolong korban kekerasan seksual
Baca juga: Pelaku kekerasan seksual di Banjarmasin divonis kebiri kimia
Baca juga: Dugaan kasus kekerasan seksual, Kemenag cabut izin Pesantren Shiddiqiyyah Jombang