Pemkab Kotim tingkatkan koordinasi optimalisasi penanganan stunting
Sampit (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah terus berupaya meningkatkan koordinasi penanganan stunting (gangguan pertumbuhan) agar hasilnya lebih optimal dan lebih cepat.
"Masih lemahnya koordinasi kabupaten dengan kecamatan dan desa juga perlu perhatian," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kotawaringin Timur Rafiq Riswandi di Sampit, Selasa.
Hal itu disampaikannya saat menjadi salah satu narasumber dalam rembuk stunting. Turut hadir Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Sutimin, Kepala DP3AP2KB Suparmadi, Kepala Dinas Kesehatan Umar Kaderi dan Ketua Komisi III DPRD Mariani.
Kotawaringin Timur menduduki peringkat pertama tertinggi kasus stunting di Kalimantan Tengah. Namun dalam hal penanganannya, kabupaten ini meraih penghargaan BKKBN Pusat karena menduduki peringkat pertama penanganan stunting untuk lokus di Provinsi Kalimantan Tengah.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) oleh dan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting Kabupaten Kotim pada tahun 2020 itu 48,84 persen. Tahun 2021 sebesar 32,5 persen. Sedangkan menurut Data elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM) tahun 2020 sebesar 26,5 persen dan 23,2 persen di tahun 2021.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita atau bayi di bawah lima tahun, akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia dua tahun
Baca juga: Pembenahan Stadion 29 November Sampit ditargetkan selesai November
Menurut Rafiq, ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya stunting di daerah ini. Ini harus menjadi perhatian bersama untuk diatasi agar upaya penanganan stunting lebih optimal.
Faktor utama adalah alokasi program yang sangat tergantung dengan kondisi kemampuan anggaran. Terbatasnya anggaran saat ini membuat program yang dibuat belum mampu menjangkau seluruh desa dan kelurahan yang mempunyai prevalensi tinggi.
Kondisi ini juga diperparah dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam berprilaku pencegahan. Intervensi penanganan stunting juga masih rendah, bahkan masih ada beberapa desa yang tidak ada tenaga kesehatannya sehingga menjadi kendala dalam upaya di lapangan.
"Kami juga akan optimalisasi anggaran dengan prinsip money follow program atau anggaran mengikuti program, baik APBN dari provinsi, kabupaten maupun desa. Dengan harapan kasus stunting kita cepat turun," ujar Rafiq.
Meski dihadapkan pada berbagai kekurangan dan keterbatasan, pemerintah daerah sudah berkomitmen untuk terus berusaha semaksimal mungkin mengatasi stunting. Harapannya, kualitas kesehatan generasi penerus akan semakin baik.
Baca juga: Legislator Kotim usulkan pengerukan saluran air cegah banjir di Sampit
Baca juga: Legislator Kotim sarankan perbaikan jalan lingkar selatan dilengkapi parit
Baca juga: DPRD Kotim dorong kemudahan akses pendidikan bermutu bagi warga miskin
"Masih lemahnya koordinasi kabupaten dengan kecamatan dan desa juga perlu perhatian," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kotawaringin Timur Rafiq Riswandi di Sampit, Selasa.
Hal itu disampaikannya saat menjadi salah satu narasumber dalam rembuk stunting. Turut hadir Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Sutimin, Kepala DP3AP2KB Suparmadi, Kepala Dinas Kesehatan Umar Kaderi dan Ketua Komisi III DPRD Mariani.
Kotawaringin Timur menduduki peringkat pertama tertinggi kasus stunting di Kalimantan Tengah. Namun dalam hal penanganannya, kabupaten ini meraih penghargaan BKKBN Pusat karena menduduki peringkat pertama penanganan stunting untuk lokus di Provinsi Kalimantan Tengah.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) oleh dan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting Kabupaten Kotim pada tahun 2020 itu 48,84 persen. Tahun 2021 sebesar 32,5 persen. Sedangkan menurut Data elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM) tahun 2020 sebesar 26,5 persen dan 23,2 persen di tahun 2021.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita atau bayi di bawah lima tahun, akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia dua tahun
Baca juga: Pembenahan Stadion 29 November Sampit ditargetkan selesai November
Menurut Rafiq, ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya stunting di daerah ini. Ini harus menjadi perhatian bersama untuk diatasi agar upaya penanganan stunting lebih optimal.
Faktor utama adalah alokasi program yang sangat tergantung dengan kondisi kemampuan anggaran. Terbatasnya anggaran saat ini membuat program yang dibuat belum mampu menjangkau seluruh desa dan kelurahan yang mempunyai prevalensi tinggi.
Kondisi ini juga diperparah dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam berprilaku pencegahan. Intervensi penanganan stunting juga masih rendah, bahkan masih ada beberapa desa yang tidak ada tenaga kesehatannya sehingga menjadi kendala dalam upaya di lapangan.
"Kami juga akan optimalisasi anggaran dengan prinsip money follow program atau anggaran mengikuti program, baik APBN dari provinsi, kabupaten maupun desa. Dengan harapan kasus stunting kita cepat turun," ujar Rafiq.
Meski dihadapkan pada berbagai kekurangan dan keterbatasan, pemerintah daerah sudah berkomitmen untuk terus berusaha semaksimal mungkin mengatasi stunting. Harapannya, kualitas kesehatan generasi penerus akan semakin baik.
Baca juga: Legislator Kotim usulkan pengerukan saluran air cegah banjir di Sampit
Baca juga: Legislator Kotim sarankan perbaikan jalan lingkar selatan dilengkapi parit
Baca juga: DPRD Kotim dorong kemudahan akses pendidikan bermutu bagi warga miskin