Sampit (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah meminta pemerintah daerah memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat, khususnya pada layanan yang tidak ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Pemerintah daerah memberikan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, yaitu jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan yang diberikan termasuk jaminan kesehatan yang tidak tercover oleh BPJS Kesehatan,” kata Ketua Komisi III DPRD Kotim Dadang Siswanto di Sampit, Selasa.
Pernyataan itu merupakan bagian kesimpulan yang dihasilkan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III dalam rangka menindaklanjuti laporan atau keluhan masyarakat terkait kebijakan baru BPJS Kesehatan yang hanya menanggung biaya perawatan pasien dengan kriteria gawat darurat.
RDP yang digelar di ruang paripurna DPRD Kotim itu melibatkan BPJS Kesehatan Cabang Kotim, Dinas Kesehatan Kotim, Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kotim, Sekda Kotim yang diwakili oleh Asisten I Setda Kotim dan lainnya.
Kebijakan baru dari BPJS Kesehatan berupa layanan dengan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan diterapkan mulai 1 Juli 2025 menimbulkan polemik di masyarakat Kotim.
Disebutkan bahwa dengan kebijakan itu, jaminan kesehatan atau berobat gratis hanya berlaku bagi pasien yang menjalani rawat inap, sedangkan pasien yang tidak menjalani rawat inap atau tidak masuk kategori gawat darurat akan tetap dikenakan biaya.
Kebijakan itu pun dinilai memberatkan masyarakat, terlebih masih banyak masyarakat Kotim dengan kondisi ekonomi kurang mampu dan mengandalkan BPJS Kesehatan untuk berobat ke fasilitas layanan kesehatan (fasyankes).
Baca juga: SDN 3 MB Hulu kerjasama dengan gereja kuatkan pembinaan agama Kristen
“Kami di Komisi III jika bisa bertindak tentu menolak kebijakan ini karena tidak sejalan dengan hal-hal yang sudah kita lakukan sebelumnya,” ujar Dadang.
Ia juga menyebut, kebijakan baru ini bertentangan dengan Perda Kotim Nomor 7 Tahun 2018 yang mengatur pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sedangkan, Perda itu dibuat dengan mengacu pada Perpres Nomor 82 tahun 2018 tentang jaminan kesehatan.
Pihaknya pun mengaku menerima banyak keluhan masyarakat terkait kebijakan baru tersebut. Terlebih dari masyarakat yang telah lama menjadi peserta BPJS Kesehatan, namun ketika berobat di rumah sakit tetap diminta membayar karena tidak perlu rawat inap.
“Karena itu kami berkumpul di sini untuk mencari solusinya. Bukannya kami ingin menentang, apalagi itu merupakan kebijakan dari pusat dan wewenangnya pemerintah pusat, tapi kami ingin mencari solusi yang bisa diberikan kepada masyarakat dalam konteks jaminan kesehatan,” terangnya.
Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, akhirnya Komisi III DPRD Kotim memberikan empat rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah daerah dan instansi terkait.
Pertama, Pemerintah daerah memberikan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, yaitu jaminan kesehatan. Kedua, jaminan kesehatan yang diberikan termasuk jaminan kesehatan yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Ketiga, Dinas Kesehatan bersama BKAD memproses pelaksanaan jaminan kesehatan sebagaimana pada poin kedua, paling lambat 14 hari sejak kesimpulan dibuat dan menyampaikan laporan secara tertulis kepada Komisi III DPRD Kotim.
Baca juga: Penduduk Kotim bertambah 4.821 jiwa
Keempat, RSUD dr Murjani diminta secara berkala melakukan kegiatan peningkatan kompetensi terhadap tenaga kesehatan.
Disisi lain, Kabag Layanan Mutu Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan Cabang Kotim Dwi Setiawan menuturkan, konsolidasi antar instansi memang diperlukan guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dan layanan ke depan yang lebih baik.
Dari RDP ini pula ada beberapa poin yang menjadi catatan dan akan menjadi pembahasan internal pihaknya. Salah satunya, berkaitan dengan permintaan agar BPJS menempatkan petugas di fasyankes agar bisa mensosialisasikan kebijakan baru tersebut.
“Tadi kami juga sudah sampaikan di rapat bahwa teknis yang baik seperti apa, jangan sampai kami menyediakan petugas yang diminta tetapi setelah itu tidak jelas mau berbuat apa, sehingga nanti teknisnya kami bahas lebih lanjut,” imbuhnya.
Ia menambahkan, berkaitan dengan jaminan di unit gawat darurat (UGD) yang diminta oleh anggota dewan sebenarnya sudah menjadi regulasi lama, kebijakan baru yang dimaksud pun sebenarnya sudah lama namun ada beberapa item yang ditegaskan kembali.
Di antaranya berkaitan dengan jaminan kondisi tertentu, apa saja yang harus tersedia dan bagaimana pertanggungjawaban itu yang menjadi kesepakatan.
“Jadi bukan membuat regulasi baru, tetapi hanya menegaskan bab penjaminan itu apa saja yang disajikan,” demikian Dwi.
Baca juga: Operasi pasar murah di Kotim digelar hingga ke kecamatan
Baca juga: Operasi pasar murah di Kotim digelar hingga ke kecamatan
Baca juga: Pelabuhan Sampit mulai ramai pemudik