Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menyebutkan, korupsi era reformasi ini lebih meluas dari pada era Orde Baru.
Zaman Orde Baru terjadi korupsi besar-besaran, tapi terkonsentasi dan diatur melalui jaringan korporatisme oleh pemerintahan saat itu. "Korupsinya dulu dimonopoli di pucuk eksekutif dan dilakukan setelah APBN ditetapkan," kata dia, dalam siaran persnya, di Jakarta, Rabu.
Hal itu tak bisa dibantah, buktinya Orde Baru direformasi dan pemerintahan Soeharto secara resmi disebut pemerintahan KKN.
"Penyebutan itu ada di Tap MPR, UU, kampanye politisi, pengamat, disertasi, tesis, dan lainnya," ujar Mahfud, saat memberi sambutan pada pelantikan Dr Makmun Murad sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Selasa (25/5).
Baca juga: Mahfud bantah dirinya pernah sebut "korupsi bisa dimaklumi"
Namun, kata Mahfud, setelah reformasi, korupsi makin meluas. Sekarang ini, atas nama demokrasi yang diselewengkan, korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif tetapi sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif dan secara vertikal dari Pusat sampai ke daerah-daerah.
"Lihat saja para koruptor yang menghuni penjara sekarang, datang dari semua lini horizontal maupun vertikal," kata guru besar hukum Universitas Islam Indonesia itu.
Menurut dia, kalau dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan pemerintah, tetapi sekarang ini sebelum APBN dan APBD jadi sudah ada berbagai negosiasi proyek untuk APBN dan APBD.
Baca juga: Masihkah berminat korupsi di depan kematian?
Menteri pertahanan pada era Gus Dur ini menengarai, banyak yang masuk penjara karena jual beli APBN dan Perda.
"Saya bisa menunjuk bukti dari koruptor yang dipenjara saja," tutur Mahfud.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini menambahkan, semua itu dilakukan atas nama demokrasi dan pemerintah tidak mudah untuk menindak karena di dalam demokrasi, Pemerintah tidak bisa lagi mengonsentrasikan tindakan dan kebijakan di luar wewenangnya.
Itulah sebabnya, Mahfud mengaku paham dengan istilah "demokrasi kriminal" yang pernah dilontarkan Rizal Ramli.
"Situasi ini perlu kesadaran moral secara kolektif, sebab tak satu institusi pun yang bisa menembus barikade demokrasi yang wewenangnya sudah dijatah oleh konstitusi," kata dia.
Baca juga: Wakil ketua MKD benarkan KPK geledah kantor Azis Syamsuddin di DPR
Kunci penyelesaian, menurut dia, tak cukup hanya dengan aturan-aturan atau jabatan, sebab aturan dan jabatan dibuat melalui apa yang diasumsikan sebagai keharusan demokrasi.
"Jika para aktor demokrasinya bermoral bobrok maka produk hukum dan pelaksanaannya pun akan bobrok. Hukum itu kan sangat ditentukan oleh moral para aktornya. Itulah tugas kita ke depan," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, demokrasi perlu ditata ulang dengan keluhuran moral para aktornya agar yang tumbuh adalah demokrasi substansial, bukan demokrasi kriminal.
"Ada dalil yang menyatakan bahwa dalam arti tertentu hukum adalah produk politik, jika moralitas politik bagus maka hukum dan penegakannya akan bagus. Tapi jika moralitas politik jelek maka hukum dan penegakannya juga akan jelek," ucapnya.
Berita Terkait
Ahmad Sahroni akui kembalikan uang Rp860 juta dari SYL untuk Partai NasDem
Rabu, 5 Juni 2024 16:30 Wib
Usut dan tuntaskan perkara korupsi emas Antam 109 ton hingga keterlibatan pihak swasta
Rabu, 5 Juni 2024 13:42 Wib
Ahmad Sahroni dan Indira Chunda Thita dipanggil KPK dalam sidang SYL
Selasa, 4 Juni 2024 21:27 Wib
Mantan Gubernur Jambi Zumi Zola dipanggil KPK
Selasa, 4 Juni 2024 19:16 Wib
Ketua DPRD dan Sekda Kotim jadi saksi dugaan kasus korupsi KONI
Selasa, 4 Juni 2024 19:13 Wib
Satu tersangka penyuap Lukas Enembe meninggal dunia
Senin, 3 Juni 2024 17:23 Wib
Syahrul Yasin Limpo minta proses perkara TPPU tidak ditunda
Senin, 3 Juni 2024 17:21 Wib
Kejati Kalteng tetapkan Ketua dan Bendahara KONI Kotim sebagai tersangka korupsi
Jumat, 31 Mei 2024 17:01 Wib