Indonesia dan Jepang ungkap kejahatan siber peretas kartu kredit

id kartu kredit,polisi indonesia,polisi jepang,peretasan,mabes polri

Indonesia dan Jepang ungkap kejahatan siber peretas kartu kredit

Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri Brigjen Pol Adi Vivid Agustiadi Bachtiar (kanan) bersama Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan (kedua kiri) dan Atase Kepolisian Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia Miyagawa (kiri) menunjukan tersangka terkait pengungkapan kasus akses ilegal dalam peretasan kartu kredit untuk pembayaran secara elektronik di kantor Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (8/8/2023). . ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

Jakarta (ANTARA) - Polri dan Kepolisian Jepang bekerja sama mengungkap kejahatan tindak pidana peretasan kartu kredit dengan melakukan transaksi elektronik di beberapa marketplace yang ada di Negeri Sakura.

Direktur Tindak Pidana Siber (Dittipidisber) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Adi Vivid A Bachtiar di Mabes Polri Jakarta, Selasa, menyebutkan pelaku kejahatan ada dua orang yang sudah ditangkap, yakni SB ditangkap di Jepang, dan DK ditangkap di Yogyakarta.

"Keduanya merupakan warga negara Indonesia," ucap Vivid.

Pengungkapan ini bermula dari penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Jepang, atas laporan delapan warga Jepang yang menjadi korban peretasan kartu kredit oleh kedua tersangka.

Vivid menjelaskan, dalam melakukan ekses ilegal tersebut pelaku menggunakan hacking tools yang diperoleh dari laman 16shop, salah satu penyedia hacking tools yang cukup populer di dunia peretasan.

Kasus serupa pernah ditangani oleh Dittipidsiber Bareskrim Polri pada tahun 2021 dan 2022 dengan korban para pemilik akun apple, Amazon, Paypal, Cashapp dan American Express dengan kerugian total mencapai Rp128 miliar dengan korban tersebar di 70 negara.

Hacking tools ini, kata Vivid, merupakan kode (script) yang dapat digunakan untuk meretas akun pembayaran elektronik internasional, hingga kartu kredit yang beroperasi di seluruh dunia.

"Kode tersebut digunakan oleh para peretas untuk mengambil data pribadi pemilik akun mulai data nomor kartu kredit, email, kata sandi, KTP/NIK, paspor, nomor telepon dan data pendukung lainnya," papar Vivid.

Para pelaku melakukan ilegal akses dalam pembelian barang-barang elektronik secara daring di Jepang dengan korban para pemilik akun marketplace B-Stock dan Tsukumo net shop yang menimbulkan kerugian kurang lebih Rp1,6 miliar.

Perbuatan tersebut dilakukan oleh kedua pelaku rentang waktu 2016 sampai dengan 2021. Para pelaku menggunakan hasil pencurian data dan info korban tersebut untuk melakukan aktivitas belanja di marketplace.

"Barang hasil kejahatan tersebut kemudian dijual oleh tersangka SB, kemudian sebagian uang hasil penjualan tersebut dikirimkan ke tersangka DK di Indonesia," ungkap Vivid.
 

Yang menarik dari kasus ini, antara pelaku SB dan DK merupakan teman lama yang pernah bekerja sebagai disc jockey (DJ) di Bali. Kemudian, SB pindah kerja di Jepang sebagai chef, sedangkan DK masih di Indonesia.

DK merupakan otak dari pelaku kejahatan sedang SB yang berada di Jepang ditugaskan oleh DK untuk mengaktifkan komputernya di Jepang, setelah aktif dikendalikan oleh DK.

"Tujuannya untuk mengelabui. Otak pelaku kejahatan ada di Indonesia, sedangkan komputer untuk meretas akses ada di Jepang. Setelah membobol akses pelaku belanja di marketplace," tutur Vivid.

Pelaku terungkap, karena salah satu barang belanjaan selain dikirim melalui pos juga pernah dikirim ke alamat SB di Jepang. Sehingga kepolisian Jepang berhasil penangkap pelaku pertama, kemudian terungkap ada pelaku lain berinisial DK di Indonesia.

Atas perbuatannya, para pelaku diproses hukum terpisah, SB ditangani oleh Kepolisian Jepang, sedangkan DK ditangani Bareskrim Polri.

DK dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 46 ayat (1), (2), (3) juncto Pasal 30 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang ITE berupa ilegal akses dengan ancaman hukuman pidana maksimal delapan tahun serta denda Rp800 juta.

Kemudian Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang ITE terkait modifikasi informasi dan dokumen elektronik, ancaman hukum delapan tahun penjara dan denda Rp2 miliar.

Penyidik juga menjerat dengan Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 UU ITE terkait manipulasi seolah-olah otentik dengan ancaman paling lama 12 tahun dan denda Rp12 miliar.

"Kami juga mengenakan Pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan ancaman lima tahun pidana penjara," ujar Kasubdit II Dittipidsiber Bareskrim Polri Kombes Pol. Rizki Agung Prakoso.

Atase Kepolisian Jepang Takayuki Miyagawa yang hadir dalam konferensi pers itu menyebutkan, pengungkapan kasus ini merupakan hasil kerja sama investigasi Kepolisian Jepang dengan Bareskrim Polri yang mulanya diselidiki oleh kepolisian Jepang.

Kepolisian Jepang dan Bareskrim Polri telah menandatangani kerja sama (MoU) dalam penanganan kejahatan-kejahatan transnasional.

"Kepolisian Jepang dan Polri sudah menandatangani MoU di bulan Januari, dan ini merupakan kolaborasi pertama setelah penandatanganan kerja sama," kata Miyagawa.

Adapun tersangka DK mengaku perbuatan itu dilakukannya karena motif ekonomi.