Rekonsiliasi Jokowi dan Megawati sangat sulit
Kupang (ANTARA) - Pengamat politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Rajamuda Bataona mengatakan rekonsiliasi Jokowi dengan Megawati bukan tidak mungkin, tapi sangat sulit dilakukan hingga Jokowi mengakhiri masa jabatannya.
"Garis demarkasi antara ideologi Jokowi yang lebih pragmatis dengan ideologi Megawati yang teguh dan berprinsip, saya kira sulit didamaikan," kata Mikhael Bataona di Kupang, Kamis terkait sinyal rekonsiliasi antara kedua tokoh ini setelah pengiriman bunga Anggrek dari Jokowi untuk Megawati di hari ulang tahunnya.
Menurut dia, sejak pencalonan Gibran melalui cara yang melawan konstitusi atau disebut sebagai manipulasi hukum di MK sampai Ketua MK yang paman Gibran dijatuhi vonis sanksi etik berat, memperlihatkan bahwa Jokowi sudah dengan tegas meninggalkan PDIP dan Megawati yang menentang cara-cara menerobos hukum demi kekuasaan seperti itu.
"Itulah yang saya kira menjadi basis utama prinsip ideologis mengapa Jokowi berbeda dengan Megawati dan PDIP. Jadi, ini bukan sekadar persoalan pribadi Jokowi atau Megawati, tapi persoalan prinsip-prinsip dasar ketatanegaraan, demokrasi, dan prinsip dasar negara hukum," katanya.
Menurut dia, Megawati yang terus menerus menyampaikan ketegasannya yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan adalah bagian dari prinsip ideologis itu, yaitu menjaga Demokrasi dan Konstitusi.
"Maka, ketika Jokowi merasa tidak lagi membutuhkan PDIP, Megawati, dan sebagian besar pendukungnya di Pilpres 2019, karena anaknya Gibran maju bersama Prabowo, tentu saya kira wajar dan rasional," katanya.
Itulah bagian lain dari politik praktis dan perebutan kekuasaan yang terkadang kasar dan tidak lagi mengenal kawan atau lawan. "Tapi bagi Megawati dan PDIP, saya membaca bahwa prinsip dan positioning mereka adalah terus menjaga demokrasi dan konstitusi meski harus menelan pil pahit dengan berhadap-hadapan dengan Jokowi di Pilpres ini dan pasti akan terus ke depannya pasca Pilpres," kata Bataona.
Sehingga menurut saya, peluang rekonsiliasi itu sulit dan sangat berat. Peluangnya sangat kecil. Meskipun peluang itu ada, tetapi semua inisiatipnya harus dimulai dari Jokowi.
"Garis demarkasi antara ideologi Jokowi yang lebih pragmatis dengan ideologi Megawati yang teguh dan berprinsip, saya kira sulit didamaikan," kata Mikhael Bataona di Kupang, Kamis terkait sinyal rekonsiliasi antara kedua tokoh ini setelah pengiriman bunga Anggrek dari Jokowi untuk Megawati di hari ulang tahunnya.
Menurut dia, sejak pencalonan Gibran melalui cara yang melawan konstitusi atau disebut sebagai manipulasi hukum di MK sampai Ketua MK yang paman Gibran dijatuhi vonis sanksi etik berat, memperlihatkan bahwa Jokowi sudah dengan tegas meninggalkan PDIP dan Megawati yang menentang cara-cara menerobos hukum demi kekuasaan seperti itu.
"Itulah yang saya kira menjadi basis utama prinsip ideologis mengapa Jokowi berbeda dengan Megawati dan PDIP. Jadi, ini bukan sekadar persoalan pribadi Jokowi atau Megawati, tapi persoalan prinsip-prinsip dasar ketatanegaraan, demokrasi, dan prinsip dasar negara hukum," katanya.
Menurut dia, Megawati yang terus menerus menyampaikan ketegasannya yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan adalah bagian dari prinsip ideologis itu, yaitu menjaga Demokrasi dan Konstitusi.
"Maka, ketika Jokowi merasa tidak lagi membutuhkan PDIP, Megawati, dan sebagian besar pendukungnya di Pilpres 2019, karena anaknya Gibran maju bersama Prabowo, tentu saya kira wajar dan rasional," katanya.
Itulah bagian lain dari politik praktis dan perebutan kekuasaan yang terkadang kasar dan tidak lagi mengenal kawan atau lawan. "Tapi bagi Megawati dan PDIP, saya membaca bahwa prinsip dan positioning mereka adalah terus menjaga demokrasi dan konstitusi meski harus menelan pil pahit dengan berhadap-hadapan dengan Jokowi di Pilpres ini dan pasti akan terus ke depannya pasca Pilpres," kata Bataona.
Sehingga menurut saya, peluang rekonsiliasi itu sulit dan sangat berat. Peluangnya sangat kecil. Meskipun peluang itu ada, tetapi semua inisiatipnya harus dimulai dari Jokowi.